KOMPAS.com - "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini aku memberikan tugas kepada mu pribadi. Dalam keadaan apapun, aku memerintahkan kepada mu untuk menjaga bendera ini dengan nyawa mu," kata Soekarno kepada ajudannya, Husein Mutahar dalam buku "Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat" karya Cindy Adams.
Pesan itu Soekarno sampaikan agar Mutahar menjaga baik-baik
bendera pusaka yang sangat bersejarah. Tugas berat diemban Mutahar lantaran saat itu situasi di Kota Yogyakarta, di mana Bung Karno dan Bung Hatta memerintah sementara, kian sulit.
Tentara Belanda melancarkan serangan besar-besaran pada 1948 sebagai rangkaian dari Agresi Militer ke-2. Serangan yang dipimpin Van Mook itu melibatkan pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota Yogyakarta. Tembakan dan pasukan pun diterjunkan.
Dalam waktu singkat, Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibu Kota Indonesia pun berhasil diduduki. Pangkalan udara Maguwo direbut, markas komando militer kota pun dibom.
Namun, ada dua tempat yang tak diduduki oleh Belanda yakni Keraton Ngayogyakarta dan Gedung Agung.
Istimewa *** Local Caption *** Duta Besar Indonesia untuk Vatikan
Panglima Jenderal Soedirman sempat datang ke Gedung Agung meminta Presiden Soekarno meninggalkan kota dan bergerilya di hutan. Namun, Bung Karno menolaknya.
Maklumat pun dibuat, melului Radio Republik Indonesia (RRI), rakyat diminta terus berjuang sementara Bung Karno menunjuk Menteri Kemakmuran Saifuddin Prawiranegara, yang berada di Sumatera, membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia bila Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan Belanda.
Penyelamatan bendera pusaka
Kekhawatiran itu benar adanya. Bung Karno dan Bung Hatta ditawan oleh Belanda. Keduanya sempat dibuang ke Brastagi, Sumatera Utara sebelum dibuang ke Pulau Bangka.
Untungnya, bendara pusaka yang dijahit oleh Fatmawati pada1944 tak pernah jatuh ke tangan Belanda. Bandara Pusaka lah bendera yang dikibarkan pertama kali saat
proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Soekarno berinisiatif menyelamatkan bendara pusaka sebelum ia ditawan oleh Belanda. Ia meminta ajudan presiden, Husein Mutahar, mengamankan bendara pusaka, bendara merah putih yang punya nilai sejarah bagi bangsa Indonesia.
Mutahar sendiri bukan orang sembarangan. Ia adalah pemuda pejuang, mayor angkatan darat yang pernah terlibat dalam Pertempuran Lima Hari Semarang, dan lantas diangkat Bung Karno menjadi ajudan Presiden.
Seperti dikutip dari buku
Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka yang ditulis oleh Bondan Winarno, Mutahar tak ambil pusing dengan perintah Bung Karno. Ia langsung menerima perintah Presiden di masa genting itu.
"Dalam keadaan apapun, aku memerintahkan kepada mu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu. Bendara ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno.
"Di satu waktu, jika tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikannya sekiranya umurku pendek," sambung Bung Karno.
Selanjutnya: Jahitan bendera pusaka dilepas