JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menilai keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hari ini (Kamis,5/7/2018) semakin memperkuat proses pembuktian kasus.
“Tadi saya koordinasi dengan JPU (Jaksa Penuntut Umum), jadi beberapa keterangan saksi itu semakin memperkuat dakwaan. Jadi perbuatan-perbuatan dari terdakwa SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) semakin terlihat di sana, dan semakin tegas, dan semakin clear,” ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/7/2018) malam.
Baca juga: Menurut Kwik Kian Gie, Sjamsul Nursalim Termasuk Obligor BLBI yang Tak Kooperatif
Kasus ini dinilai Febri sebagai salah satu kasus dugaan korupsi yang sangat merugikan negara.
“Nilainya cukup banyak yang kemudian berkontribusi pada kerugian keuangan negara sekitar 4,58 triliun,” kata dia.
Menurutnya, ada perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan oleh terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung yang tetap menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim yang asetnya macet.
Baca juga: Di Ruang Sidang BLBI, Rizal Ramli Sibuk Foto-foto dengan Hakim, Jaksa, dan Terdakwa
Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.
BPPN, pada 27 April 2000 memutuskan, utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp 1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp 3,55 triliun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM.
Baca juga: Rapat Pertama soal Pemberian SKL BLBI Dilakukan di Rumah Pribadi Megawati
Namun, Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi usulan restrukturisasi tersebut.
Febri mengajak semua pihak terutama yang punya concern dengan aset recovery, agar bisa mengawal kasus ini bersama-sama dalam proses persidangan.
“Karena KPK sedang berupaya mengungkap skandal lama dalam kasus BLBI yang sudah beberapa tahun yang lalu,” kata Febri.
Baca juga: Alasan Kwik Kian Gie Tolak Keputusan Megawati dan Pendapat Kabinet soal SKL BLBI
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Jaksa menilai, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Baca juga: Dalam Sidang BLBI, Yusril Bantah Keterangan Kwik Kian Gie soal Perintah Megawati
Selain itu, Syafruddin disebut juga telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).