Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Fadli Zon Diingatkan Kalau DPR Juga Suka Langgar Konstitusi dan Putusan MK..

Kompas.com - 03/07/2018, 16:58 WIB
Rakhmat Nur Hakim,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon membandingkan Undang-undang No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 2 Tahun 2018.

Fadli membandingkan keduanya lantaran sama-sama menimbulkan polemik di masyarakat.

Saat ini, ia menilai PKPU tersebut yang memuat larangan pencalegan mantan koruptor bertentangan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Baca juga: Jokowi Diminta Tegur Menkumham soal PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg

Selain itu larangan tersebut juga dinilai melanggar konstitusi yang menjamin hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih.

Namun, saat ditanya beberapa undang-undang yang dibuat DPR bertentangan dengan konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Fadli menjawab pihaknya telah menyusunnya sesuai dengan koridor hukum.

Ia pun legawa dengan putusan MK yang membatalkan sejumlah undang-undang yang disusun DPR, termasuk Undang-undang MD3.

Baca juga: Kemenkumham Diminta Undangkan PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg

"Jadi terkait misalnya aturan-aturan yang ada, kami juga tentu harus legowo ya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Meskipun sudah dibatalkan, ia tetap berkilah bahwa sejumlah aturan dalam UU MD3 itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. 

Sebaliknya, ia malah mengatakan DPR hanya berupaya menjaga kekuasaan legislatif.

Baca juga: PKPU Larangan Koruptor Jadi Caleg, dari Sikap Jokowi hingga Ancaman Angket DPR

Salah satu yang dicontohkan Fadli ialah pasal pemanggilan paksa yang dibatalkan MK.

"Meskipun menurut saya semangat dari undang-undang itu, pemanggilan paksa itu, kan bagian dari fungsi DPR untuk melakukan kontrol atau pengawasan. Dan saya pikir sejauh itu masih dalam koridor. Kalau tidak itu maka kekuasaan legislatif tidak bisa maksimal," lanjut dia.

Seperti diketahui, MK membatalkan dan mengoreksi sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Setidaknya ada dua pasal kontroversial yang dibatalkan dan satu pasal yang dikoreksi.

Baca juga: Dedi Mulyadi Dukung PKPU Pelarangan Eks Napi Koruptor Jadi Caleg

Putusan ini diambil oleh MK dengan suara bulat dalam sidang putusan uji materi UU MD3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018) kemarin. MK mengabulkan untuk sebagian uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak kelompok masyarakat terhadap UU MD3.

Pasal pertama yang dibatalkan oleh MK adalah pasal pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU MD3. Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah.

Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian. Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari.

Baca juga: Bertemu Mendadak, Tjahjo dan Wiranto Bahas PKPU yang Larang Eks Koruptor Jadi Caleg

Pasal berikutnya yang dibatalkan MK adalah pasal 122 huruf l UU MD3.

Pasal tersebut berbunyi: (MKD bertugas) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

MK mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan ketentuan pasal tersebut.

"Pasal 122 huruf l [...] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Anwar Usman.

Baca juga: Ketua KPU Anggap Sah PKPU Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, MKD bukanlah alat kelengkapan yang dimaksudkan sebagai tameng DPR untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai telah merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.

Pasal tersebut semula berbunyi: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Baca juga: KPK Berharap Parpol Dukung PKPU Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg

Namun MK menilai pemeriksaan anggota DPR cukup mendapatkan izin Presiden, tanpa harus melalui pertimbangan dari MKD. MK pun menghapus frasa 'setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan' sehingga pasal tersebut berbunyi:

Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.

Kompas TV Komisi Pemilihan Umum akhirnya merilis peraturan baru dalam Pemilu Legislatif 2019.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
'Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo'

"Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo"

Nasional
Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Nasional
Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Sesepuh Kopassus Bertemu | Prabowo Ingin Libatkan Megawati Susun Kabinet

[POPULER NASIONAL] Para Sesepuh Kopassus Bertemu | Prabowo Ingin Libatkan Megawati Susun Kabinet

Nasional
Rute Transjakarta 9F Rusun Tambora - Pluit

Rute Transjakarta 9F Rusun Tambora - Pluit

Nasional
Tanggal 4 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 4 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 3 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 3 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com