JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie berpendapat, idealnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yaitu sebesar 0 persen.
Menurut Jimly, ambang batas pencalonan 0 persen paling cocok diterapkan dalam negara yang menganut sistem demokrasi.
Selain itu, pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) mendatang dilakukan secara serentak.
Baca juga: Jimly: Uji Materi Presidential Threshold Harus Diputuskan Sebelum Tahap Pendaftaran
"Kalau mau ideal memang sebaiknya tidak ada threshold karena ini serentak. Kalau yang paling cocok buat demokrasi ya 0 persen," ujar Jimly saat ditemui di sela-sela acara halalbihalal Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6/2018).
"Selain itu, karena manajemen waktunya ini kan ada perubahan, serentak. Maka yang paling ideal adalah tidak ada lagi threshold atau 0 persen. Memang itu idealnya," ucap pakar hukum tata negara itu.
Meski ideal, namun kesepakatan politik dalam proses pembuatan undang-undang telah menetapkan besaran ambang batas pencalonan.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Wasekjen Demokrat Sorot Presidential Threshold
Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Secara hukum ketatanegaraan, kata Jimly, penetapan ambang batas pencalonan tidak melanggar ketentuan dalam konstitusi atau UUD 1945.
Selain itu, ketentuan tersebut juga telah diterapkan dalam dua kali pemilu, yakni pada Pilpres 2009 dan 2014.
"Aturan threshold-nya itu boleh saja, tidak ada aturan konstitusi yang tegas dilanggar," kata Jimly.
Baca juga: Yusril Bakal Ajukan Uji Materi Presidential Threshold
Sebelumnya, sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materi terkait ambang batas pencalonan ke MK.
Denny Indrayana, kuasa hukum salah satu pemohon, mengatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden tersebut telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.
Syarat yang diadopsi dari pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut, telah menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi sangat terbatas.