JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah, DPR dan KPK belum mencapai titik temu terkait polemik pengaturan beberapa pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menilai perbedaan pendapat terkait hal itu merupakan hal yang lumrah. Sebab, proses pembahasan masih terus berjalan.
"RUU KUHP ini kan belum final. Masih dalam proses. Kalau di sana sini ada perbedaan lumrah saja dan saat ini kami mencoba untuk menyatukan pendapat dalam mengatasi perbedaan itu," ujar Wiranto saat memberikan keterangan usai rapat koordinasi terbatas di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2018).
Baca juga: Pimpinan KPK Tak Puas dengan Penjelasan Pemerintah soal RKUHP
Menurut Wiranto, ada beberapa pasal yang masih menjadi perdebatan antara pemerintah, DPR dan KPK.
Beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain terkait ketentuan mengenai sanksi atau ancaman pidana dan masuknya delik tipikor dalam RKUHP.
Oleh sebab itu, kata Wiranto, pertemuan lanjutan masih akan terus dilakukan untuk menyatukan pendapat.
"Dengan demikian maka kami sepakat akan ada pertemuan-pertemuan berikutnya untuk mematangkan ini," kata Wiranto.
Pemerintah dan DPR tetap berpendapat bahwa empat pasal pidana pokok dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus diatur dalam RKUHP. Empat pasal itu adalah Pasal 2, 3, 5 dan 11.
Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa hal itu bertujuan untuk memperbaiki tata kelola dan rekodifikasi hukum pidana.
Enny pun memastikan asas-asas hukum dalam UU Tipikor akan tetap berlaku meski pidana korupsi diatur juga dalam RKUHP.
"Sementara ini (pasal 2, 3, 5 dan 11) yang kita tarik sebagai core-nya. Sementara ini. Kalau misalnya ada masukan lagi nanti kita diskusi lagi, karena ini adalah bagian dari kodifikasi hukum pidana," tutur Enny.
Sementara itu, KPK berharap pasal-pasal korupsi dan tindak pidana khusus lainnya tidak jadi bagian dari RKUHP.
Baca juga: Wiranto Akan Rapat Koordinasi dengan KPK Bahas Polemik RKUHP
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai pengaturan tipikor dalam RKUHP akan menimbulkan dualisme hukum dan menyulitkan aparat penegakan hukum dalam menuntaskan perkara korupsi.
Selain itu ancaman pidana dan denda cenderung menurun drastis. Pidana tambahan berupa uang pengganti pun tidak diatur secara jelas dalam RKUHP. Padahal, sumber terbesar pemulihan kerugian negara akibat korupsi berasal dari uang pengganti.
Namun Laode memastikan pihaknya akan membuka ruang diskusi untuk mencapai kesepakatan atas perbedaan pendapat tersebut.
"Semua perbedaan pendapat itu akan banyak dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap draf yang ada sekarang. Soal misalnya perbedaan sanksi, tentang masuknya sebagian pasal-pasal UU Tipikor ke dalam ketentuan umum. Nanti akan dibicarakan," ujar Laode.