JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ombudsman Adrianus Meliala meminta agar peran dan keterlibatan TNI dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) diatur secara komprehensif.
Hal itu guna menghindari pelanggaran prosedur atau malaadministrasi di kemudian hari.
"Mesti clear. Pelibatan TNI tapi dalam hal apa, rambu-rambunya apa, sampai batas mana atau dalam bahasa teknis rules of engagement (sistem pelibatan) harus beres. Bukan ujug-ujug pelibatan," kata Adrianus.
Baca juga: Mekanisme Pelibatan TNI di RUU Antiterorisme Diserahkan ke Pemerintah
Menurut Adrianus, Ombudsman mengkhawatirkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan menimbulkan masalah hukum.
Sebab, baru kali ini pendekatan militer digunakan dalam menangani tindak pidana terorisme.
Revisi UU Antiterorisme, menurut pemerintah, perlu segera dilakukan.
Revisi itu diharapkan dapat mencegah serangan terjadi kembali. Namun, beberapa pasal justru menimbulkan pro dan kontra dalam proses pembahasannya.
Baca juga: Berantas Terorisme Hingga ke Akarnya Tak Cukup Hanya oleh TNI-Polri
Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.
Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.
Selain itu, TNI tak memiliki kewenangan menindak pelaku terorisme dalam ranah penegakan hukum.
Meski demikian, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pasal pelibatan TNI diatur dalam UU Antiterorisme.
"Kami sebagai lembaga yang mengingatkan, ini kami ingatkan jangan sampai hanya sekadar untuk melibatkan, tapi lupa bahwa esensinya adalah pada metode pelibatan," kata Adrianus.