JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap Ketua Harian Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Tengah, M Iqbal Wibisono, Kamis (26/4/2018) dalam kasus korupsi e-KTP.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, pemeriksaan penyidik terhadap Iqbal dilakukan sejak pukul 14.00 WIB. Dalam pemeriksaan kali ini, penyidik KPK mendalami informasi baru dalam kasus tersebut.
"Ada informasi baru yang perlu didalami penyidik terhadap saksi. Dikonfirmasi tentang dugaan aliran dana terkait (kasus) e-KTP," ujar Febri dalam pesan singkat, Kamis sore.
Febri menegaskan, KPK terus mendalami kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik ini.
(Baca juga: 10 Fakta Persidangan Setya Novanto dan Aliran Uang Korupsi E-KTP)
Bagi KPK, putusan vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto beberapa waktu lalu bukanlah akhir dalam penanganan kasus ini.
"Penyidik terus mendalami pihak lain, baik yang diduga melakukan bersama-sama ataupun penerima aliran dana," kata dia.
Sebelumnya Febri pernah menyatakan, KPK akan mendalami peran pihak lain ini secara lebih rinci untuk pengembangan lebih lanjut.
"Tentu tidak bisa sebut nama. Tapi peran pihak lain akan ditelusuri. Cukup banyak ya, apa dari cluster politik, birokrasi ataupun swasta," ujar dia.
(Baca juga: Novanto Akui Ada Bagi-bagi Duit E-KTP, tapi Menolak Bertanggung Jawab)
Seperti diketahui, Mantan Ketua DPR Setya Novanto divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/4/2018). Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, Novanto terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Selain itu, majelis hakim mewajibkan Novanto membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.
Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana. Hal itu sesuai tuntutan jaksa KPK.