Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Anggap Rekaman Wawancara Marliem oleh FBI Layak Jadi Alat Bukti Kasus E-KTP

Kompas.com - 24/04/2018, 14:58 WIB
Abba Gabrillin,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim yang mengadili terdakwa Setya Novanto tidak setuju dengan keberatan penasehat hukum terkait rekaman yang dijadikan alat bukti.

Rekaman yang dimaksud adalah rekaman wawancara Johannes Marliem oleh penyidik Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI).

Hal itu disampaikan majelis hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/4/2018).

Dalam nota pembelaan atau pleidoi, penasehat hukum Novanto menilai, rekaman itu tak dapat dijadikan alat bukti. Sebab, tidak memenuhi persyaratan sebagai alat bukti yang sah.

"Majelis tidak sependapat, karena alat bukti itu bukan satu-satunya yang diajukan jaksa. Tapi didukung alat bukti lain," ujar hakim Anwar saat membaca pertimbangan.

(Baca juga : Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara)

Selain itu, menurut hakim, dalam persidangan ada rekaman lain yang berisi percakapan antara Johannes Marliem dan Direktur PT Quadra Solutions Anang Sugiana Sudihardjo.

Bahkan, pembicaraan di dalam isi rekaman itu dibenarkan oleh Anang saat bersaksi.

"Maka pembelaan itu tidak punya alasan hukum dan harus ditolak," kata hakim Anwar.

Johannes Marliem yang mewakili perusahaan Biomorf Mauritius mengaku pernah diminta beberapa kali menyetorkan uang melalui money changer.

(Baca juga : Setya Novanto Divonis Bayar Uang Pengganti Sekitar Rp 66 Miliar)

Uang-uang tersebut kemungkinan ditujukan kepada Setya Novanto.

Hal itu diketahui dari rekaman wawancara Johannes Marliem dengan penyidik FBI. Rekaman itu diputar jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/2/2018).

Berikut petikan kata-kata Marliem dalam transkrip wawancara yang ditampilkan jaksa KPK:

"Mereka meminta Rajesh untuk benar-benar mengirimkannya dari Mauritius."

"Karena saya mendapat arahan yang mengatakan kirim uang ke sini, kirim uang ke sana. Jadi saya menyampaikannya ke Rajesh".

"Sebagian akan ke money changer, namanya saya tidak ingat. Karena itulah saya sampaikan kepada KPK, 'Anda ingin melacak dana?".

"Itu yang saya katakan. Ya bisa jadi Novanto".

(Baca juga : Hakim Cabut Hak Politik Setya Novanto)

Novanto divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Novanto juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.

Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.

Kompas TV Menurut majelis hakim, Setya Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi KTP elektronik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com