JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dua pelajar SMP yang mendaftarkan diri untuk menikah di kantor urusan agama (KUA) Kecamatan Bantaeng, Sulawesi Selatan, bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi ketentuan batas minimal usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kasus tersebut menjadi salah satu contoh bahwa perkawinan anak masih menjadi masalah di Indonesia.
Remaja lelaki masih berusia 15 tahun 10 bulan, sedangkan yang perempuan berusia 14 tahun 9 bulan.
Meski sempat ditolak, pihak keluarga lalu mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama Bantaeng.
Dispensasi itu membuat KUA tak memiliki alasan lagi untuk tidak memproses rencana pernikahan keduanya.
Sehari setelahnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise melontarkan usulan untuk segera merevisi UU Perkawinan.
Baca juga : Kegigihan Pelajar SMP di Bantaeng yang Bersikeras Ingin Menikah...
Hal itu disampaikan Yihana dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Ia menyoroti pasal yang mengatur ketentuan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Menurut Yohana, ketentuan batas minimal usia harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak, sebagaimana yang sejak lama didesak oleh kalangan masyarakat sipil.
"Tentang usia menikah dan status anak di luar kawin saya minta perhatian dari Komisi VIII," ujar Yohana.
Menurut Yohana, pihaknya menyadari bahwa fenomena perkawinan anak terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan.
Baca juga : KPAI Dukung Usulan Batas Usia Perkawinan Dinaikkan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017, perkawinan anak terjadi di seluruh provinsi.
Tercatat di Provinsi Sulawesi Selatan, persentase perempuan yang menikah di bawah umur 18 tahun mencapai 33,98 persen atau menempati peringkat kesembilan.
Sedangkan persentase tertinggi berada di Kalimantan Selatan, sebesar 39,53 persen.
"Memang kasus-kasusnya sudah banyak terjadi di mana-mana. Tim kami sudah banyak yang masuk. Kami tetap akan tegas menunjukkan ketegasan bahwa pemerintah tetap melindungi hak anak dan tidak membiarkan anak-anak untuk menikah. kita tegaskan untuk itu," kata Yohana.
Usulan perubahan UU perkawinan sebenarnya telah telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Namun, UU tersebut tidak masuk prioritas tahun 2018.
Darurat perkawinan anak
Kasus dua pelajar di Bantaeng hanya salah satu dari sekian banyak perkawinan anak yang terjadi.
Bahkan sebagian besar perkawinan anak terjadi karena adanya unsur keterpaksaan.
Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Lia Anggiasih, menilai, saat ini Indonesia tengah dilanda darurat perkawinan anak.
"Presiden Jokowi harusnya melihat ini sudah darurat," ujar Lia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/4/2018).
Koalisi Perempuan Indonesia bersama beberapa lembaga pegiat hak perempuan dan anak selama ini mendorong perbaikan regulasi terkait batas minimal usia perkawinan.
Menurut Lia, batas usia minimal perkawinan bagi perempuan seharusnya sama dengan laki-laki, yakni 19 tahun.
Hal itu berlandaskan pada Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
Selain batas usia minimal perkawinan, koalisi juga mendesak penghapusan ketentuan pemberian dispensasi perkawinan bagi anak.