Menurut Ali, Kementerian PPPA harus mengkaji dasar dari perubahan tersebut dari berbagai aspek, seperti aspek sosiologis, filosofis, legalitas dan politisnya.
"Memang ada harapan atau dukungan masyarakat untuk melakukan revisi itu. Dpr meminta menteri PPPA untuk melakukan kajian yang mendalam," ujar Ali di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (16/4/2018).
"Kajian yanh mendalam terhadap UU itu harus dari aspek sosiologisnya, dari aspek politisnya, aspek filosofinya dan juga aspek legalitasnya itu perlu dilakukan, sehingga perlu adanya kehati-hatian dalam membahas itu," ucapnya.
Ali mengatakan, usulan revisi UU Perkawinan terkait perubahan usia minimal perkawinan juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Meski mendapat dukungan dari masyarakat untuk merevisi, namun ada juga sebagai kelompok masyarakat yang melihat ketentuan tersebut masih relevan.
Selain itu, kata Ali, tak dipungkiri ada kebiasaan di masyarakat yang mengawinkan anak perempuannya setelah menstruasi karena dianggap telah dewasa.
Oleh sebab itu, ia memandang perlu adanya kajian mendalam dan koordinasi antara Kementerian PPPA dan kementerian atau lembaga terkait lainnya.
"Sementara sebagian masyarakat mengatakan UU itu masih relevan untuk bisa dijadikan acuan. Nah itulah perlu DPR mendorong kepada pemerintah untuk melakukan kajian bersama stakeholder yang lain. Tidak hanya Kementerian Prempuan tetapi juga Kementerian Agama, Kemenkumham, dan kementerian terkait lainnya," kata Ali.
Di sisi lain, lanjut Ali, perkawinan usia anak juga disebabkan oleh banyak faktor, seperti misalnya faktor pendidikan dan ekonomi.
Tidak sedikit orang tua yang mengawinkan anaknya karena tak mampu menyekolahkan anaknya dan akhirnya menjadi beban secara ekonomi.
"Menurut saya itu dulu yang perlu didorong. Ini kan anak-anak enggak sekolah, kemudian tidak ada kegiatan, pikirannya cuma satu oleh orang tua, jadi beban ekonomi, jadinya dikawinkan saja. Itu kan menjadi persoalan," kata Ali.
Secara terpisah, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ei Nurul Khotimah sepakat dengan usul Kementerian PPPA atas perubahan batas usia minimal perkawinan dalam UU Perkawinan.
Menurut Ei, rendahnya batas minimal usia perkawinan dalam UU menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya praktik perkawinan usia anak.
"Saya setuju (revisi UU Perkawinan), dengan banyaknya perkawinan di bawah umur dan itu banyak menimbulkan persoalan yang juga akhirnya menyebabkan bertambahnya persoalan bangsa," ujar Ei.
Ei sepakat jika batas minimal usia perkawinan untuk perempuan diubah menjadi 18 tahun.
UU Perkawinan menyatakan usia perkawinan perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Ia menilai, di usia 18 tahun seorang perempuan lebih siap untuk menikah secara fisik dan psikologis.
Namun, Ei tak sepakat jika batas usia minimal perkawinan untuk perempuan menjadi 21 tahun karena akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
"Saya lebih setuju dengan 18 tahun karena dari sisi psikologis dan fisik sudah cukup. jadi tidak akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat," kata Ei.
"kalau misalnya 21 tahun itu akan menimbulkan persoalan baru, adanya maksiat atau perzinahan dan itu akan menimbulkan persoalan baru, kenakalan remaja dan sebagainya," ucapnya.
Ei mengatakan, praktik perkawinan usia anak di berbagai pelosok daerah memberikan dampak negatif, terutama bagi kaum perempuan.
Selain, memengaruhi tingginya angka kematian ibu melahirkan anak, praktik perkawinan usia anak juga akan berdampak pada kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Rendahnya tingkat kesejahteraan, kata Ei, akan memicu timbulnya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
"Kalau masih muda memang banyak yang belum memiliki pkerjaan, dari sisi ekonomi juga akan berdampak dan ini nanti akan berdampak juga pada kasus kekerasan dalam rumah tangga," tutur Ei.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.