JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, perdebatan terkait mekanisme pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014.
Pada saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden menghentikan perdebatan itu dengan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014.
"Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah (lewat DPRD) kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi dalam keterangan resminya kepada Kompas.com, Selasa (11/4/2018).
(Baca juga : Pemerintah dan DPR Wacanakan Kembalikan Pilkada Lewat DPRD)
Ia menganggap, mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Titi menegaskan, agar DPR dan pemerintah melakukan evaluasi terhadap persoalan yang muncul di dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Dengan demikian, DPR dan Pemerintah bisa melakukan perbaikan terhadap beberapa kelemahan tersebut.
Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi di dalam pemilihan kepala daerah, Titi menganggap, alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung.
"Dari fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata dia.
(Baca juga : Zulkifli Hasan Setuju Pilkada Dikembalikan ke DPRD)
Titi menyoroti biaya untuk membayar uang pencalonan atau mahar politik kepada partai untuk proses pencalonan.
Ia mengakui, penyerahan uang kepada partai adalah sesuatu realitas yang tak bisa dibantah di dalam pencalonan kepala daerah.
Padahal, ketentuan memberikan uang kepada partai politik atau partai politik menerima uang terkait proses pencalonan kepala daerah ini sudah diancam sanksi di dalam UU Pilkada.
"Lalu, ketika biaya politik tinggi itu disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri, mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti direnggut?" katanya.
Perludem melihat, pemahaman elite politik atas wacana ini cenderung tidak tepat. Ia khawatir wacana ini bisa berdampak buruk dan menghasilkan kekeliruan.
(Baca juga : PKS Sepakat untuk Setujui Pilkada Dikembalikan ke DPRD)
Titi menyarankan agar DPR dan Pemerintah lebih produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.
"Mereka harus melihat berdasarkan pendekatan evaluatif yang konstruktif dari pengalaman tiga kali pilkada transisi ini Pilkada 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018," katanya.