Keberadaan juru kampanye bertaraf nasional bakal dengan cepat mengerek popularitas calon kepala daerah. Bahkan, dalam taraf tertentu, juru kampanye nasional yang tepat seakan-akan bisa "meminjamkan" citranya kepada sosok calon kepala daerah.
Dengan kata lain, calon kepala daerah diasosiasikan sebagai sosok yang memiliki citra yang serupa dengan juru kampanye nasional. Jika dikelola dengan tepat, kondisi seperti ini bakal memuluskan jalan calon kepala daerah meraih elektabilitas melebihi pesaingnya.
Daya tarik juru kampanye nasional itu sendiri di antaranya terletak pada dua hal yang dikenal sebagai Q factor, yaitu familiarity atau keakraban dan likability atau kesukaan.
Konsep yang dikenal dalam dunia pemasaran ini (Kotler & Keller, 2012), bakal mempermudah kita dalam memilih juru kampanye nasional yang tepat.
Semakin tinggi tingkat familiarity dan likability seorang juru kampanye nasional bagi pemilih setempat, maka kemungkinan besar semakin efektif juru kampanye tersebut dalam mendukung kampanye calon kepala daerah.
Dalam konteks ini, sering dijumpai masyarakat pemilih menentukan pilihannya karena sosok juru kampanye nasional, bukan karena sosok kepala daerah.
Di perhelatan Pilkada 2018, sejumlah tokoh nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Agus H Yudhoyono, ditengarai turun gelanggang ke berbagai pelosok daerah.
Mereka berperan sebagai juru kampanye bagi calon-calon kepala daerah yang diusung partai politik tempat mereka bernaung. Keberadaan mereka tentunya diharapkan bisa berperan sebagai endorser yang efektif untuk calon kepala daerah yang diusung partainya.
Dalam konteks inilah, Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.
Selama ini, penggunaan tokoh nasional selaku juru kampanye dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah.
Namun, di sisi lain, tokoh nasional yang menjadi juru kampanye memiliki kesempatan me-recall kembali ingatan publik akan sosok dirinya, maupun mengenalkan dirinya ke segmen dan jangkauan wilayah pemilih yang lebih luas.
Dengan meningkatnya keterkenalan sosok tokoh nasional, tentu lebih memudahkan untuk melambungkan elektabilitasnya.
Tak hanya itu, hasil yang didapat oleh calon kepala daerah yang didukungnya, merupakan salah satu indikator, seberapa efektif sosok dia selaku juru kampanye, serta seberapa besar kemungkinan keterpilihannya jika menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Peran tiga poros
Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa sajakah yang bakal menjadi penentu dalam kontestasi menuju kursi capres atau cawapres melalui Pilkada 2018?
Dalam kolom di Kompas.com, 4 Mei 2017, penulis memprediksi bakal ada tiga poros penentu konstelasi Pilpres 2019.
Pertama, poros partai pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P dengan tokoh sentralnya Megawati Soekarnoputri, atau kita sebut Poros Teuku Umar.
Kedua, ada Poros Kertanegara, dengan Prabowo Subianto selaku tokoh utamanya. Terakhir, Poros Cikeas, yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono.
Pada Pilkada 2018, pergerakan ketiga poros ini bakal memengaruhi konstelasi politik secara keseluruhan, apakah dua ataukah tiga pasang capres-cawapres yang bakal berlaga.
Sesuai dengan prediksi, Poros Teuku Umar kembali mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada akhir Februari 2018 mengumumkan penetapan Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon presiden 2019-2024 di Rakernas III PDI-P.
Selain posisi petahana sebagai kelebihannya, Jokowi juga memiliki elektabilitas relatif tinggi dan stabil menurut berbagai survei. Di sisi lain, PDI-P tidak memiliki opsi kader yang memiliki kadar ketokohan di atas Jokowi selain Megawati, ketua umumnya.