Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herzaky Mahendra Putra
Pemerhati Politik

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Mahasiswa Program Doktoral Unair

Pilkada 2018, Pilpres 2019, dan Demokrasi Indonesia

Kompas.com - 28/03/2018, 18:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PESTA demokrasi di Indonesia kembali digelar di tahun 2018. Sebanyak 171 daerah bakal menggelar pemilihan kepada daerah secara langsung dan serentak di tahun ini.

Pasangan calon gubernur-wakil gubenur, wali kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati yang bakal mengikuti kontestasi pun telah ditetapkan oleh KPUD di setiap daerah di pertengahan Februari 2018.

Bagi partai politik, perhelatan Pilkada 2018 ini bernilai sangat strategis. Ada tiga faktor penyebabnya, yaitu jumlah, populasi, dan waktu.

Pertama, tercatat 17 provinsi dan 154 kota atau kabupaten bakal menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2018. Dari segi jumlah, ini menjadi yang terbesar dibandingkan dengan pilkada pada 2015 dan 2017.

Kedua, dari segi populasi, total pemilih yang bakal mengikuti pemilihan kepala daerah tahun 2018 merupakan yang terbanyak dibandingkan tahun 2015 dan 2017.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pada Pemilu 2014, pemilih di 17 provinsi yang bakal menggelar Pilkada 2018 mencapai angka 146,5 juta orang atau 77 persen dari 190,3 juta pemilih.

Untuk pemilihan kepala daerah pada tahun 2018, KPU memprediksi jumlah pemilih di 17 provinsi tersebut mendekati 160 juta suara.

Ketiga, waktu pelaksanaan Pilkada 2018 sangat dekat dengan masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif periode 2019-2024.

Pemungutan suara untuk Pilkada 2018 berlangsung pada 27 Juni 2018. Masa pendaftaran calon legislatif digelar kurang dari dua minggu setelahnya.

Adapun masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden periode 2019-2024 bakal dilakukan kurang dari dua bulan setelahnya, yaitu pada awal Agustus 2018.

Kedekatan periode waktu ini membuat hasil Pilkada 2018 sedikit banyak bakal berpengaruh terhadap kontestasi di pemilihan presiden 2019.

Bahkan bisa dikatakan, pilkada serentak 2018 ini bukan sekadar memilih gubernur dan wali kota/bupati. Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Mesin partai

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR RI.

Ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2014 (3,5 persen) dan Pemilu 2009 (2,5 persen). Faktor risiko bagi setiap parpol peserta pemilu pun menjadi meningkat dengan naiknya ambang batas ini.

Belum lagi jika mengingat fakta munculnya empat parpol baru peserta Pemilu 2019. Semakin banyak peserta pemilu, berarti semakin banyak pesaing dalam memikat hati rakyat di tahun 2019.

Dibandingkan Pemilu 2014, peningkatan jumlah "kue" suara rakyat yang dibagi tidak signifikan, namun bertambahnya jumlah partai pesaing mencapai 40 persen. Kondisi ini membuat persaingan pun semakin ketat.

Dengan situasi seperti ini, momen Pilkada 2018 menjadi semakin penting. Parpol bakal menggunakannya untuk "memanaskan" mesin parpolnya. Mengetes seberapa jauh kekuatan dan ketahanan saat ini.

Jika mengusung calon kepala daerah dari kader partai sendiri, keberhasilan kader partai terpilih sebagai kepala daerah di Pilkada 2018 ini menunjukkan mesin partai di daerah tersebut bisa diandalkan. Apalagi jika kader partai yang terpilih bukan tokoh terpopuler ataupun memiliki elektabilitas tertinggi.

Jika memang tokoh yang diusungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah, momen seperti ini berharga untuk mengevaluasi critical point yang perlu diperbaiki.

Jadi, ketika Pileg dan Pilpres 2019, kesalahan yang sama tidak lagi terjadi. Parpol lama tentunya berharap bakal bisa memperlebar gap dengan parpol baru, sedangkan parpol baru berharap bisa mendulang kesuksesan di 2019 dengan belajar memanaskan mesin partai di Pilkada 2018 ini.

Success rate tinggi di Pilkada 2018 yang diikuti hampir 80 persen pemilih, bakal memunculkan kepercayaan diri bagi setiap parpol yang terlibat di dalamnya.

Mereka pun bakal bisa menakar, sejauh mana kekuatan dan ketahanan mesin partai mereka, dalam mengarungi pertarungan di Pileg dan Pilpres 2019. Dan, seberapa tinggi daya tawar mereka dalam berkoalisi dengan partai lain dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Juru kampanye

Penggunaan juru kampanye selama ini dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam membantu menarik perhatian pemilih ke partai politik pengusung ataupun calon kepala daerah.

Disadari atau tidak, pesan yang disampaikan oleh sumber yang menarik, akan mendapatkan perhatian besar, di samping sangat mudah untuk diingat (Royan, 2005). Di sinilah juru kampanye berperan.

Keberadaan juru kampanye bertaraf nasional bakal dengan cepat mengerek popularitas calon kepala daerah. Bahkan, dalam taraf tertentu, juru kampanye nasional yang tepat seakan-akan bisa "meminjamkan" citranya kepada sosok calon kepala daerah.

Dengan kata lain, calon kepala daerah diasosiasikan sebagai sosok yang memiliki citra yang serupa dengan juru kampanye nasional. Jika dikelola dengan tepat, kondisi seperti ini bakal memuluskan jalan calon kepala daerah meraih elektabilitas melebihi pesaingnya.

Daya tarik juru kampanye nasional itu sendiri di antaranya terletak pada dua hal yang dikenal sebagai Q factor, yaitu familiarity atau keakraban dan likability atau kesukaan.

Konsep yang dikenal dalam dunia pemasaran ini (Kotler & Keller, 2012), bakal mempermudah kita dalam memilih juru kampanye nasional yang tepat.

Semakin tinggi tingkat familiarity dan likability seorang juru kampanye nasional bagi pemilih setempat, maka kemungkinan besar semakin efektif juru kampanye tersebut dalam mendukung kampanye calon kepala daerah.

Dalam konteks ini, sering dijumpai masyarakat pemilih menentukan pilihannya karena sosok juru kampanye nasional, bukan karena sosok kepala daerah.

Di perhelatan Pilkada 2018, sejumlah tokoh nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Agus H Yudhoyono, ditengarai turun gelanggang ke berbagai pelosok daerah.

Mereka berperan sebagai juru kampanye bagi calon-calon kepala daerah yang diusung partai politik tempat mereka bernaung. Keberadaan mereka tentunya diharapkan bisa berperan sebagai endorser yang efektif untuk calon kepala daerah yang diusung partainya.

Dalam konteks inilah, Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Selama ini, penggunaan tokoh nasional selaku juru kampanye dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah.

Namun, di sisi lain, tokoh nasional yang menjadi juru kampanye memiliki kesempatan me-recall kembali ingatan publik akan sosok dirinya, maupun mengenalkan dirinya ke segmen dan jangkauan wilayah pemilih yang lebih luas.

Dengan meningkatnya keterkenalan sosok tokoh nasional, tentu lebih memudahkan untuk melambungkan elektabilitasnya.

Tak hanya itu, hasil yang didapat oleh calon kepala daerah yang didukungnya, merupakan salah satu indikator, seberapa efektif sosok dia selaku juru kampanye, serta seberapa besar kemungkinan keterpilihannya jika menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.

Peran tiga poros

Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa sajakah yang bakal menjadi penentu dalam kontestasi menuju kursi capres atau cawapres melalui Pilkada 2018?

Dalam kolom di Kompas.com, 4 Mei 2017, penulis memprediksi bakal ada tiga poros penentu konstelasi Pilpres 2019.

Pertama, poros partai pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P dengan tokoh sentralnya Megawati Soekarnoputri, atau kita sebut Poros Teuku Umar.

Kedua, ada Poros Kertanegara, dengan Prabowo Subianto selaku tokoh utamanya. Terakhir, Poros Cikeas, yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono.

Pada Pilkada 2018, pergerakan ketiga poros ini bakal memengaruhi konstelasi politik secara keseluruhan, apakah dua ataukah tiga pasang capres-cawapres yang bakal berlaga.

Sesuai dengan prediksi, Poros Teuku Umar kembali mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada akhir Februari 2018 mengumumkan penetapan Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon presiden 2019-2024 di Rakernas III PDI-P.

Selain posisi petahana sebagai kelebihannya, Jokowi juga memiliki elektabilitas relatif tinggi dan stabil menurut berbagai survei. Di sisi lain, PDI-P tidak memiliki opsi kader yang memiliki kadar ketokohan di atas Jokowi selain Megawati, ketua umumnya.

Pengumuman PDI-P ini melengkapi dukungan dari parpol-parpol yang telah lebih dahulu melakukan deklarasi mengusung Jokowi sebagai capres 2019-2024, yaitu Golkar, PPP, Hanura, dan Nasdem. Total koalisi Teuku Umar yang dimotori PDI-P telah mengantongi 51 persen kursi DPR.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan demikian, opsi yang tersisa hanyalah untuk maksimal dua pasang calon lagi untuk Pilpres 2019.

Rematch Jokowi-Prabowo?

Poros Kertanegara yang dipimpin Prabowo, dengan "anggota tetap" Partai Gerindra dan PKS, sudah memiliki jumlah kursi DPR minimal yang diperlukan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Gabungan kursi anggota DPR kedua partai ini mencapai 20 persen.

Hanya, publik masih menerka-nerka, apakah Pemilihan Presiden 2019 bakal berujung rematch atau pertandingan ulang antara Jokowi dan Prabowo laiknya Pilpres 2014? Ataukah bakal muncul calon baru? Jika muncul calon baru, apakah berasal dari kubu Prabowo atau dari poros baru?

Untuk memprediksi jawaban dari dua pertanyaan di atas, kita perlu mencermati peta pertarungan di Pilkada 2018.

Dari 171 daerah penyelenggara Pilkada 2018, ada beberapa provinsi yang bisa menjadi salah satu indikator utama keberhasilan sosok capres atau cawapres dalam mengangkat elektabilitas calon kepala daerah yang diusung partainya, baik karena faktor besarnya jumlah pemilih maupun peta koalisi di daerah tersebut.

Hal itu mengingat pertarungan di tingkat provinsi masih bisa kita gunakan untuk membaca peta nasional, sedangkan pertarungan di tingkat kota/kabupaten, sifatnya sangatlah lokal, baik untuk ketokohan maupun pilihan partainya.

Dalam konteks kemungkinan rematch atau tarung ulang antara Jokowi dan Prabowo pada 2019, ada lima provinsi yang bakal menjadi pusat pertarungan, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Di lima provinsi inilah Poros Kertanegara dapat melakukan market test, apakah di mata pemilih sosok Prabowo masih merupakan lawan tertangguh bagi Jokowi. Bahkan, khusus di empat provinsi selain Sulawesi Selatan, Gerindra-PKS bakal menguji soliditas kebersamaan mesin partai mereka.

Tes terbesar pertama bagi Prabowo adalah di Jawa Barat. Prabowo menang mutlak atas Jokowi di Pilpres 2014 di sini. Adapun PKS dalam dua gelaran pilkada terakhir di provinsi ini selalu berhasil menempatkan paslon yang diusungnya sebagai pemenang.

Di sisi lain, sosok pasangan calon (paslon) yang diusung PKS, Sudrajad-Syaikhu, bukan merupakan figur terpopuler dan tertinggi elektabilitasnya ketika dicalonkan. Sehingga, sosok Prabowo dan soliditas mesin partai Poros Kertanegara bakal memiliki peran besar di sini.

Adapun tes kedua bagi Prabowo adalah Jawa Tengah, provinsi yang terkenal sebagai kandang banteng dan Jokowi. Dua gubernur terakhir merupakan usungan PDI-P dan Jokowi menang mutlak di Pilpres 2014. Sosok Ganjar sebagai petahana dan Taj Yasin Maimoen bakal mewakili kubu Jokowi, menghadapi Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung kubu Prabowo.

Dengan keterwakilan nadhliyin di kedua kubu (Taj Yasin anak Kiai Maimoen yang sangat dihormati di Jawa Tengah dan Ida dari PKB yang sangat kuat di Jawa Tengah), salah satu pembeda keberhasilan mereka adalah sosok mana yang lebih kuat magnetnya di Jawa Tengah saat ini, Jokowi atau Prabowo.

Pertarungan di Sumatera Utara pun terbilang keras. Kedua kubu menurunkan tokoh yang sudah dikenal secara nasional. Gerindra bersama PKS memimpin koalisi yang mengusung Edy Rachmayadi, mantan Pangkostrad. Adapun PDI-P mengusung Djarot Saiful Hidayat, mantan wagub DKI Jakarta.

Dengan level ketokohan kedua calon gubernur tersebut yang tidak terlalu jauh berbeda, sosok Prabowo dan Jokowi bakal menjadi penentu, manakah yang lebih mampu memikat warga Sumatera Utara. Dan, keberhasilan di provinsi ini bakal menaikkan kepercayaan diri poros pemenang.

Kalimantan Timur menjadi penting sebagai salah satu indikator, mengingat empat pasangan calon diprediksi memiliki elektabilitas yang tidak terlalu jauh berbeda. Sehingga, faktor mesin partai dan juru kampanye bakal menjadi faktor signifikan dalam memikat pemilih.

Kondisi relatif tidak terlalu jauh berbeda bisa ditemukan di Sulawesi Selatan. Kubu PDI-P mengusung Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng yang cukup dikenal secara nasional. Adapun Gerindra mengusung wakil gubernur petahana, Agus Arifin Nu'man.

Hanya saja, provinsi ini secara tradisional dikuasai oleh Golkar dan partai tersebut mengusung calon sendiri. Jokowi pun unggul mutlak di 2014 karena faktor Jusuf Kalla dan Golkar.

Keberhasilan paslon yang diusung PDI-P sedikit banyak bakal membantu mengikis pengaruh Jusuf Kalla dan Golkar dalam penentuan cawapres Jokowi. Dan, keberhasilan paslon dari Gerindra, pertanda positif untuk Prabowo.

Peluang poros baru

Mengingat situasi Pilpres 2014 dengan hanya dua pasangan calon dan kerasnya persaingan sehingga seakan-akan membelah bangsa ini menjadi dua kubu, ada wacana memunculkan pasangan calon ketiga agar konflik tidak terlalu mengerucut.

Keberadaan pasangan calon ketiga pun bakal membuat iklim demokrasi lebih positif, mengingat masyarakat memiliki pilihan lebih banyak. Dan, ada wajah baru yang muncul, bukan hanya kedua capres dari 2014.

Poros Cikeas yang dipimpin SBY diprediksi menjadi penentu apakah Pilpres 2019 bakal menjadi ajang rematch atau masyarakat Indonesia mendapatkan alternatif pemimpin baru.

Sampai dengan saat ini, tinggal Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang belum memutuskan untuk bergabung dengan poros pengusung Jokowi ataupun Poros Prabowo. Jika bergabung, ketiga partai ini sudah memenuhi syarat untuk mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres tahun depan.

Demokrat diprediksi bakal mengajukan Agus H Yudhoyono. Sejak kalah di Pilkada Jakarta, pesona Agus yang akrab dipanggil dengan AHY ini bukannya menyurut, malah meningkat. Hal ini tampak dari safarinya ke berbagai pelosok negeri dengan bendera The Yudhoyono Institute, mengundang antusiasme luar biasa dari publik, terutama kaum muda.

Pengangkatan AHY selaku Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemenangan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 pada pertengahan Februari 2018, yang mendapatkan beberapa kewenangan yang selama ini dimiliki Ketua Umum Partai Demokrat, merupakan sinyal kuat untuk "menguji" kemampuan AHY dalam berpolitik dan akseptabilitasnya bagi para pemilih.

Pilkada 2018 merupakan sarana tepat untuk menguji sejauh mana keampuhan "AHY Effect" bagi para calon kepala daerah yang didukung Partai Demokrat.

Pengangkatan selaku Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemenangan Pilkada 2018 dan Pileg-Pilpres 2019 baru-baru ini mengukuhkan AHY sebagai figur yang memiliki peranan sentral di Partai Demokrat.

Pilkada 2018 merupakan kerja politik pertama AHY selaku kader partai dan merupakan bagian penting dalam pembuktian kapasitasnya sebagai pemimpin masa depan Demokrat.

Dengan jumlah pemilih berusia 17-35 tahun atau biasa disebut kaum milenial berkisar 100 juta di 2019, AHY sebagai sosok pemimpin muda diprediksi lebih mudah menggarap pemilih segmen ini.

Namun tetap saja, keberhasilan paslon usungan Demokrat memenangi Pilkada 2018 di beberapa provinsi kunci mereka, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur, merupakan salah satu indikator utama, seberapa besar AHY effect dalam kontestasi politik di tingkat nasional.

Adapun PKB sepertinya bakal mendorong Muhaimin Iskandar, ketua umumnya sendiri. Muhaimin yang biasa dipanggil Cak Imin saat ini sedang getol berkeliling ke berbagai wilayah Indonesia.

Ada relawan di berbagai provinsi yang sudah terbentuk untuk mengusung Cak Imin sebagai calon wakil presiden 2019. Baliho Cak Imin pun mudah ditemui di berbagai kota sejak beberapa bulan terakhir.

Mengusung Cak Imin, baik sebagai capres ataupun cawapres, merupakan strategi jitu jika ingin menggaet kaum nadhliyin alias massa NU, salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Massa NU yang cenderung loyal saat ini tidak memiliki tokoh politik kaliber nasional selain Cak Imin. Ada alternatif pada sosok Yenny Wahid, anak almarhum Gus Dur. Namun, Yenny tidak memiliki kendaraan politik. Belum lagi jika kita memperhitungkan mesin politik PKB yang relatif kuat dan dominan di Pulau Jawa, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Hanya saja, sejauh mana kekuatan mesin partai PKB terkini, setelah sempat mengejutkan di 2014, perlu mendapat pembuktian di Pilgub Jatim, Jateng, dan Jabar.

Di Jatim, bisakah koalisi PKB dan PDI-P menumbangkan dominasi Demokrat di kursi gubernur selama dua periode terakhir? Untuk Jateng, mampukah paslon usungan PKB dan Gerindra-PKS-PAN mengalahkan gubernur petahana usungan PDI-P?

Kemudian, apakah faktor PKB bisa menjadi salah kunci kesuksesan Ridwan Kamil di tengah kepungan tiga paslon lain dari partai-partai besar di Jawa Barat?

Keberhasilan di tiga provinsi kunci ini membuat PKB semakin diperhitungkan dalam Pemilu 2019 dan menguatnya sosok Cak Imin sebagai salah satu sosok alternatif untuk Pilpres 2019.

PAN sendiri di Rakernas 2017 lalu memutuskan mengusung ketua umumnya, Zulkifli Hasan, sebagai calon presiden. Zulkifli memang sering melakukan konsolidasi ke berbagai wilayah di Indonesia. Hanya, dalam konteks posisinya sebagai Ketua Umum MPR ataupun Ketua Umum PAN.

Masih belum terlihat usaha terbuka menyosialisasikan sosok Zulkifli selaku capres ataupun cawapres. Yang terlihat barulah keberanian Zulkifli untuk menyampaikan sikap tegas dalam beberapa kesempatan mengenai isu-isu yang hangat di masyarakat, seperti penyelundupan narkoba.

Bagaimanapun, masa depan poros baru tergantung pada ketiga partai ini. Ketiga partai ini kemungkinan baru menentukan sikap final setelah Pilkada 2018 keluar hasilnya.

Momentum positif

Ketergantungan pada hasil Pilkada 2018 bagi ketiga poros dalam menentukan calon presiden dan atau calon wakil presidennya memberikan sinyal positif bagi demokrasi Indonesia.

Bagaimanapun, konstelasi politik nasional tidak lagi hanya tergantung kepada keputusan elite politik tingkat nasional semata. Akan tetapi, harus pula memperhatikan dinamika dan aspirasi yang berkembang di tingkat daerah.

Pilkada 2018 merupakan sarana penting, bukan sekadar memanaskan dan mengetes mesin partai, melainkan mengecek efektivitas sosok tokoh nasional dalam mengangkat elektabilitas tokoh-tokoh calon kepala daerah dan partai di daerahnya.

Jika memang terbukti ampuh, barulah sosok tokoh nasional ini pantas untuk dipertimbangkan untuk melaju di kontestasi politik nasional. Jika sebaliknya, kita harapkan memberikan pentas kepada tokoh yang lebih pantas.

Kondisi ini merupakan momentum positif bagi demokrasi Indonesia. Semakin meluasnya spektrum sumber yang mempengaruhi pentas politik negara ke daerah, tidak lagi berpusat pada level nasional, menjadikan calon pemimpin nasional bakal lebih tanggap terhadap permasalahan di daerah-daerah. Bukan sekadar memandang dari kejauhan, melainkan mencoba memahaminya dari dekat, sebagai bekal sebelum melaju di pentas nasional.

Dan, yang paling penting, besar harapan kita tokoh-tokoh politik nasional tidak sekadar mengedepankan pragmatisme untuk kepentingan kelompok apalagi pribadi mereka. Mereka semestinya juga mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan dunia dalam menentukan calon pemimpin nasional yang mereka usung dan koalisi yang mereka bentuk.

Mereka perlu memberikan contoh dalam berpolitik dengan menggunakan cara-cara beretika dan pantas, menjauhi kampanye hitam, apalagi politik uang. Karena, tanggung jawab merekalah untuk menjaga momentum positif yang kita miliki saat ini, sebagai fondasi bagi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat Heran 'Amicus Curae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com