Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Penggantian Calon Kepala Daerah Berstatus Tersangka

Kompas.com - 28/03/2018, 11:10 WIB
Rakhmat Nur Hakim,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU (PKPU) agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah yang diusung namun telah berstatus tersangka.

Dengan demikian partai politik yang mengusung calon kepala daerah dengan status tersangka tak dirugikan di hari pencoblosan dengan citra pasangan calon yang telah tergerus.

Hal itu diusulkan Tjahjo setelah delapan calon kepala daerah di Pilkada 2018 menjadi tersangka kasus korupsi.

Mereka ialah Calon Gubernur Lampung Mustafa, Calon Bupati Subang Imas Aryumningsih, Calon Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Calon Wali Kota Malang Mochamad Anton serta Yaqud Ananda Qudban, Calon Gubernur NTT Marianus Sae, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, dan Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus.

(Baca juga: Pemerintah Diminta Terbitkan Perppu jika Ingin KPU Ubah PKPU Pencalonan)

Awalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk merubah aturan tersebut yang termaktub dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Menanggapi hal itu Tjahjo menolaknya sebab prosesnya lebih panjang bila melalui revisi Undang-undang Pilkada. Karena itu ia menilai pengesahan aturan agar calon kepala daerah yang berstatus tersangka bisa diganti sebelum pencoblosan cukup melalui revisi PKPU.

Namun, usulan pemerintah tersebut ditolak oleh KPU. Mereka menolak untuk merevisi PKPU tersebut jika tidak ada Perppu sebagai acuan perubahan aturan teknis penyelanggaraan Pilkada, yang merupakan turunan dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Kami bisa merevisi PKPU itu (pencalonan) berdasarkan Perppu," ujar Komisioner KPU Ilham Saputra.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) Ilham Saputra di Jakarta, Rabu (31/1/2018).KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) Ilham Saputra di Jakarta, Rabu (31/1/2018).

(Baca juga: KPK Serahkan ke KPU Terkait Usul Pemerintah soal PKPU Kepala Daerah yang Jadi Tersangka)

Ilham beralasan, pihaknya tidak memberikan ruang kepada partai politik untuk mengganti calon kepala daerahnya yang berstatus tersangka lantaran undang-undang mengatur demikian.

"Kami masih tetap mengacu pada beberapa UU yang ada. Selama UU mengatakan seperti itu, maka acuan kami adalah UU," ujar mantan wakil ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh tersebut.

Hal senada disampaikan oleh partai koalisi pendukung pemerintah, yakni Golkar. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menyepakati adanya upaya pemerintah agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah berstatus tersangka yang diusung mereka supaya tak dirugikan di hari pencoblosan.

Namun, menurut dia, hal itu harus melalui revisi Pasal 43 Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bukan dengan revisi PKPU. Sebab pelarangan penggantian calon kepala daerah dicantumkan langsung di undang-undang.

(Baca juga: Daripada Perppu, Wapres Anggap PKPU Lebih Ringkas Atur Pergantian Peserta Pilkada)

"Itu sebetulnya dasarnya bukan PKPU tapi dasarnya adalah undang-undang. Di dalamnya itu memang secara tegas menyebutkan calon kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan memasuki tahapan kampanye maka tak boleh ada lagi pergantian," kata Ace di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Ia menilai hingga hari pencoblosan 27 Juni mendatang, DPR dan pemerintah masih memiliki cukup waktu untuk merevisi undang-undang tersebut agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka.

Selain melalui revisi seperti biasa, Ace mengatakan pemerintah juga bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengubah pasal ihwal pergantian calon kepala daerah.

Ia meyakini DPR akan dengan cepat merespons Perppu tersebut agar pergantiam bisa dilakukan sebelum hari pencoblosan.

"Ya kan ketika Presiden, atau pemerintah mengeluarkan (rencana revisi) undang-undang tersebut atau Perppu maka pada saat itu bisa langsung berjalan, kemudian mendapatkan persetujuan DPR," papar dia.

(Baca juga: KPU Tegaskan Pemerintah Tetap Berpegang pada PKPU yang Ada)

"Itu nanti bisa dibahas di DPR sendiri. Jadi ketika pemerintah keluarkan Perppu pada saat itu Perppu itu berjalan," lanjut Ace.

 

Untungkan koalisi pemerintah

Sementara itu Ketua DPP Partai Gerindra Riza Patria mempertanyakan usulan Tjahjo tersebut. Pasalnya beberapa partai sejak lama telah mengusulkan hal tersebut namun tak direspons oleh pemerintah.

Ia menilai usulan Tjahjo yang baru keluar sekarang nampak menguntungkan partai koalisi pemerintah sebab dari delapan calon kepala daerah yang berstatus tersangka paling banyak diusung oleh partai pendukung pemerintah.

"Ya itu pasti menjadi perdebatan masyarakat umum. Karena ternyata yang banyak kena dari partai pemerintah," kata Riza saat dihubungi, Selasa (27/3/2018).

(Baca juga: Gerindra Anggap Usulan Revisi PKPU Untungkan Partai Koalisi Pemerintah)

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/5/2017).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/5/2017).

"Coba aja didata. Saya tidak pegang datanya tapi sekilas yang saya pahami lebih banyak dari partai pengusung pemerintah yang kena kasus operasi tangkap tangan (OTT) dan ditersangkakan (di Pilkada)," lanjut dia.

Ia lantas mempertanyakan jika calon kepala daerah yang banyak ditersangkakan berasal dari partai oposisi apakah pemerintah juga mengusulkan hasil tersebut. Ia menilai pemerintah tidak adil dalam mengeluarkan usulan tersebut.

"Sebelumnya udah pernah kami singgung. Udah kami ingatkan jauh-jauh hari dulu. Bukan sekarang begitu ketahuan banyak yang kena. Pertanyaan saya kan tadi saya bilang. Gimana kalau yang kena partai oposisi banyak? Pemerintah mau? Kan itu ukurannya," lanjut dia.

Ia pun mengusulkan sebaiknya perombakan aturan tersebut dilakukan untuk pilkada selanjutnya dan tetap harus melalui Perppu atau revisi undang-undang. Jika diubah melalui revisi PKPU menurut dia tak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga KPU rawan digugat.

"Terlebih jika itu dilakukan melalui revisi undang-undang, maka akan lebih komprehensif. Bukan cuma soal penggantian calon kepala daerah yang berstatus tersangka aja, tapi juga soal lain seperti pelarangan calon tunggal dan selainnya," lanjut dia.

Kompas TV Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengajukan beberapa usulan untuk mengatasi polemik ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com