Salin Artikel

Polemik Penggantian Calon Kepala Daerah Berstatus Tersangka

Dengan demikian partai politik yang mengusung calon kepala daerah dengan status tersangka tak dirugikan di hari pencoblosan dengan citra pasangan calon yang telah tergerus.

Hal itu diusulkan Tjahjo setelah delapan calon kepala daerah di Pilkada 2018 menjadi tersangka kasus korupsi.

Mereka ialah Calon Gubernur Lampung Mustafa, Calon Bupati Subang Imas Aryumningsih, Calon Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Calon Wali Kota Malang Mochamad Anton serta Yaqud Ananda Qudban, Calon Gubernur NTT Marianus Sae, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, dan Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus.

Awalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk merubah aturan tersebut yang termaktub dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Menanggapi hal itu Tjahjo menolaknya sebab prosesnya lebih panjang bila melalui revisi Undang-undang Pilkada. Karena itu ia menilai pengesahan aturan agar calon kepala daerah yang berstatus tersangka bisa diganti sebelum pencoblosan cukup melalui revisi PKPU.

Namun, usulan pemerintah tersebut ditolak oleh KPU. Mereka menolak untuk merevisi PKPU tersebut jika tidak ada Perppu sebagai acuan perubahan aturan teknis penyelanggaraan Pilkada, yang merupakan turunan dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Kami bisa merevisi PKPU itu (pencalonan) berdasarkan Perppu," ujar Komisioner KPU Ilham Saputra.

Ilham beralasan, pihaknya tidak memberikan ruang kepada partai politik untuk mengganti calon kepala daerahnya yang berstatus tersangka lantaran undang-undang mengatur demikian.

"Kami masih tetap mengacu pada beberapa UU yang ada. Selama UU mengatakan seperti itu, maka acuan kami adalah UU," ujar mantan wakil ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh tersebut.

Hal senada disampaikan oleh partai koalisi pendukung pemerintah, yakni Golkar. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menyepakati adanya upaya pemerintah agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah berstatus tersangka yang diusung mereka supaya tak dirugikan di hari pencoblosan.

Namun, menurut dia, hal itu harus melalui revisi Pasal 43 Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bukan dengan revisi PKPU. Sebab pelarangan penggantian calon kepala daerah dicantumkan langsung di undang-undang.

"Itu sebetulnya dasarnya bukan PKPU tapi dasarnya adalah undang-undang. Di dalamnya itu memang secara tegas menyebutkan calon kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan memasuki tahapan kampanye maka tak boleh ada lagi pergantian," kata Ace di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Ia menilai hingga hari pencoblosan 27 Juni mendatang, DPR dan pemerintah masih memiliki cukup waktu untuk merevisi undang-undang tersebut agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka.

Selain melalui revisi seperti biasa, Ace mengatakan pemerintah juga bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengubah pasal ihwal pergantian calon kepala daerah.

Ia meyakini DPR akan dengan cepat merespons Perppu tersebut agar pergantiam bisa dilakukan sebelum hari pencoblosan.

"Ya kan ketika Presiden, atau pemerintah mengeluarkan (rencana revisi) undang-undang tersebut atau Perppu maka pada saat itu bisa langsung berjalan, kemudian mendapatkan persetujuan DPR," papar dia.

"Itu nanti bisa dibahas di DPR sendiri. Jadi ketika pemerintah keluarkan Perppu pada saat itu Perppu itu berjalan," lanjut Ace.

Untungkan koalisi pemerintah

Sementara itu Ketua DPP Partai Gerindra Riza Patria mempertanyakan usulan Tjahjo tersebut. Pasalnya beberapa partai sejak lama telah mengusulkan hal tersebut namun tak direspons oleh pemerintah.

Ia menilai usulan Tjahjo yang baru keluar sekarang nampak menguntungkan partai koalisi pemerintah sebab dari delapan calon kepala daerah yang berstatus tersangka paling banyak diusung oleh partai pendukung pemerintah.

"Ya itu pasti menjadi perdebatan masyarakat umum. Karena ternyata yang banyak kena dari partai pemerintah," kata Riza saat dihubungi, Selasa (27/3/2018).

"Coba aja didata. Saya tidak pegang datanya tapi sekilas yang saya pahami lebih banyak dari partai pengusung pemerintah yang kena kasus operasi tangkap tangan (OTT) dan ditersangkakan (di Pilkada)," lanjut dia.

Ia lantas mempertanyakan jika calon kepala daerah yang banyak ditersangkakan berasal dari partai oposisi apakah pemerintah juga mengusulkan hasil tersebut. Ia menilai pemerintah tidak adil dalam mengeluarkan usulan tersebut.

"Sebelumnya udah pernah kami singgung. Udah kami ingatkan jauh-jauh hari dulu. Bukan sekarang begitu ketahuan banyak yang kena. Pertanyaan saya kan tadi saya bilang. Gimana kalau yang kena partai oposisi banyak? Pemerintah mau? Kan itu ukurannya," lanjut dia.

Ia pun mengusulkan sebaiknya perombakan aturan tersebut dilakukan untuk pilkada selanjutnya dan tetap harus melalui Perppu atau revisi undang-undang. Jika diubah melalui revisi PKPU menurut dia tak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga KPU rawan digugat.

"Terlebih jika itu dilakukan melalui revisi undang-undang, maka akan lebih komprehensif. Bukan cuma soal penggantian calon kepala daerah yang berstatus tersangka aja, tapi juga soal lain seperti pelarangan calon tunggal dan selainnya," lanjut dia.

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/28/11103761/polemik-penggantian-calon-kepala-daerah-berstatus-tersangka

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke