“Rapat kali ini, bahwa kita bertemu, sifatnya bisa disampaikan. Tetapi isi pembicaraannya masih tertutup. Jangan dulu disampaikan,” Presiden SBY memberikan arahan awal dan membuka rapat pada dini hari itu.
Pada kesempatan itu, setelah mendengarkan laporan lebih lengkap tentang proses persetujuan RUU Pilkada di DPR, Presiden mempersilakan saya memaparkan opsi penerbitan perppu. Setelah diperintah Presiden dan meminta izin dari Menkumham, saya jelaskan opsi penerbitan perppu, alasan konstitusionalnya, kelebihan dan kekurangan, serta konsekuensi hukumnya. Saya presentasi selama lebih kurang 20 menit.
Setelah presentasi saya, diskusi mengerucut dengan persetujuan untuk menerbitkan perppu guna menyelamatkan pilkada langsung oleh rakyat dan menyelamatkan demokrasi di tanah air. Saya diminta segera menyiapkan draf perppu yang dibutuhkan. Sejarah mencatat, Perppu Pilkada Langsung terbit, lalu dengan kerja politik akhirnya disetujui DPR.
*****
Cerita di atas membuktikan, RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden, pada kenyataannya bisa menimbulkan dinamika politik-hukum, utamanya karena penolakan publik yang kuat. Hal itu membuktikan ada jarak antara proses legislasi di parlemen dengan aspirasi publik di luar Gedung Senayan.
Hasil perubahan UUD 1945, meskipun memperkuat kewenangan legislasi DPR, sebenarnya tetap memberikan kewenangan sama kuat kepada Presiden melalui frasa “persetujuan bersama” bagi lolosnya suatu RUU.
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut bahkan lebih kuat dibandingkan kewenangan veto Presiden Amerika Serikat, yang masih bisa diveto balik oleh Kongres. Tanpa persetujuan salah satu Presiden atau DPR, suatu RUU tidak mungkin menjadi UU.
Jika presiden tidak setuju atas RUU yang telah disetujui bersama, ada empat opsi konstitusional yang dimiliki presiden. Opsi pertama presiden adalah, tidak menandatangani RUU yang telah disetujui bersama. Penyebabnya mungkin karena desakan publik yang muncul belakangan, atau kurangnya laporan lengkap antara Menteri yang membahas di DPR kepada Presiden.
Awalnya, pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ini dikonstitusikan oleh MPR untuk mengantisipasi presiden yang berubah pikiran setelah persetujuan bersama. Sehingga, maksud awal parlemen adalah menutup peluang presiden untuk menghentikan berlakunya suatu RUU, karena meskipun tidak ditandatangani, dalam waktu 30 hari RUU itu tetap berlaku menjadi UU.
Dengan kasus-kasus di atas, Pasal 20 ayat (5) telah bermertamorfosis menjadi jalan keluar bagi presiden untuk menunjukkan kepada publik bahwa ia tidak setuju atas suatu RUU, meskipun sebenarnya telah melewati persetujuan bersama.
Opsi kedua, presiden menggunakan emergency power dalam hal kewenangan legislasinya, dengan menerbitkan perppu, tentu dengan dasar konstitusional kegentingan yang memaksa.
Kewenangan legislasi darurat yang selalu melekat pada seorang presiden itu telah diputuskan oleh MK. Ukuran kegentingannya adalah subyektivitas presiden, yang obyektivitas politiknya dinilai oleh DPR.
Opsi ini menunjukkan sikap presiden lebih jauh, tidak hanya menunjukkan tidak setuju, tetapi juga mengubah substansi RUU yang ditolak publik itu melalui perppu. Tentu ada risiko politiknya, yaitu jika ditolak DPR. Namun, imbal baliknya, presiden dinilai masyarakat lebih serius dan tegas dalam menunjukkan ketidaksetujuannya atas UU MD3.
Opsi ketiga adalah melalui legislative review, yaitu mengubah UU MD3 yang sudah berlaku melalui proses normal revisi di parlemen. Proses ini juga membutuhkan persetujuan DPR. Meskipun lebih aman dari serangan politik DPR kepada presiden, tetapi opsi ini lebih lambat dan substansi peraturannya tidak bisa dirumuskan sendiri oleh presiden.
Opsi keempat, mengubah melalui constitutional review atau konstitusionalitas di MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Meskipun hadir di persidangan dengan DPR, presiden bukan yang berinisiatif dalam proses ini. Yang aktif adalah publik sebagai pemohon, dan keputusan ada di tangan sembilan hakim MK.
Itulah empat opsi yang dimiliki presiden dalam hal suatu RUU yang telah disetujui bersama DPR kemudian menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat. Masing-masing opsi itu konstitusional dan sejalan dengan UUD 1945. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Opsi mana pun yang dipilih presiden adalah sah. Kondisi sosial politik akan mempengaruhi keputusan presiden. Pilihan presiden yang satu belum tentu sama dengan pilihan presiden yang lain.
Bagaimana pemahaman presiden atas masalah yang ada dan pesan politik apa yang ingin ditegaskan oleh presiden akan menentukan opsi mana yang akan dipilih. Dan, rakyatkah yang akan melihat dan menilai pilihan presidennya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.