Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Cerita di Balik Perppu Pilkada Langsung dan Opsi atas UU MD3

Kompas.com - 17/03/2018, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Denny akan berdikusi dan bertukar pikiran dengan para pakar hukum tata negara,” sayup terdengar suara Presiden SBY berbicara dengan delegasi Republik Indonesia, yang saat itu memang sedang melakukan kunjungan ke Amerika Serikat.

Pembicaraan telepon lebih kurang setengah jam itu berakhir menjelang tengah malam. Saya pandangi istri yang akhirnya belum juga tidur. Saya minta izin, “Ayah mau kerja dulu ya. Menghubungi beberapa ahli tata negara dan menyiapkan pendapat hukum soal RUU Pilkada.”

“Iya. Tetapi ini sudah kemaleman. Apa tidak sebaiknya besok saja?”
Saya menggeleng.

“OK. Tetapi kalau bisa tetap tidur, lho, ya,” Bunda Os—panggilan sayang saya dan anak-anak— mengizinkan sambil mengingatkan agar tetap istirahat. Rossy hapal betul, jika sudah ada tugas penting seperti ini, saya bisa tidak tidur, sepanjang malam hingga dini hari mengetik di depan laptop.

Saya lihat jam tangan. Menjelang dini hari. Rasanya tidak pantas menelepon beberapa pakar hukum tata negara larut begini. Namun, ini persoalan penting, rasanya tidak ada salahnya mencoba. Jari tangan saya memencet nomor Saldi Isra dan Refly Harun, dua pakar HTN yang juga sobat karib saya. Tidak ada yang mengangkat. “Besok saja, sudah terlalu malam,” pikir saya dalam hati.

Saya beranjak mengambil komputer jinjing. Semalaman, setelah itu, saya mengetik dan menyiapkan pendapat hukum untuk Presiden. Sampai mulai terdengar azan shubuh, “Allahu Akbar, Allahu Akbar...,” draf legal opinion saya untuk Presiden SBY sudah hampir selesai. Saya putuskan untuk rehat sejenak. Saya akan cek lagi setelah shalat subuh, sebelum mengirimkannya melalui email ke Presiden.

Paginya, segera saya coba menghubungi empat ahli Hukum Tata Negara, yaitu Prof Mahfud MD, Prof Jimly Asshiddiqie, Prof Saldi Isra, dan Refly Harun. Nama yang terakhir kala itu sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Andalas, Padang, di bawah bimbingan Saldi dan saya.

Semua masukan para ahli itu saya catat dan sampaikan kepada Presiden melalui pendapat hukum tertulis yang saya kirim melalui e-mail pada hari itu juga, Minggu, 28 September 2014.

Inti masukan saya memberikan dua pilihan hukum kepada Presiden, yaitu: 1) menggunakan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang pada dasarnya menyatakan Presiden belum memberikan persetujuan bersama. Meskipun, saya menyadari bahwa konvensi ketatanegaraan akan berpandangan persetujuan Presiden itu telah dilakukan melalui pidato persetujuan Mendagri Gamawan Fauzi pada akhir Rapat Pleno DPR pada saat itu; dan 2) menggunakan Pasal 22 UUD 1945, yaitu menerbitkan Perppu Pilkada Langsung, yang sudah pasti akan disoal pemenuhan syarat konstitusional adanya “kegentingan yang memaksa” sebagai alasan penerbitan Perppu tersebut.

Setelah pembicaraan telepon dengan Presiden SBY, saya mengikuti pemberitaan bahwa Presiden SBY juga berkomunikasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Pada prinsipnya Presiden meminta pandangan hukum MK terkait kapankah sebenarnya persetujuan Presiden dalam hal suatu RUU itu dinyatakan telah efektif diberikan. Lebih spesifik lagi, apakah persetujuan melalui Mendagri Gamawan dalam RUU Pilkada sudah berarti juga persetujuan Presiden?

Belakangan saya mengetahui bahwa untuk menjawab pertanyaan Presiden SBY tersebut MK mengadakan diskusi dan memberikan pandangan bahwa persetujuan Presiden SBY sudah disampaikan melalui Mendagri. Hal mana telah menjadi konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan kita. Pandangan MK tersebut meneguhkan Presiden SBY untuk mencoret pilihan menggunakan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan taat kepada pendapat MK bahwa persetujuan Presiden telah diberikan melalui Mendagri.

Hal itu menyebabkan opsi yang tersedia secara konstitusi untuk Presiden SBY mendukung pilkada langsung oleh rakyat hanya tinggal satu, yaitu menerbitkan perppu. 

Dalam penerbangan dari Seattle menuju Jepang, Pak Djoko Suyanto menelepon dan meminta saya menyiapkan argumentasi hukum dan paparan untuk disampaikan kepada Presiden begitu beliau mendarat kembali di Tanah Air. Saat itu, meskipun sudah mengarah, rencana penerbitan perppu masih disebut sebagai “siap-siap untuk kita mengarah pada Plan B.”

*****

Bergerak cepat, Senin, 29 September 2014, saya mengumpulkan beberapa ahli HTN untuk berdiskusi di kantor Kemenkumham dan menyiapkan serta mengantisipasi penerbitan perppu. Hadir di antaranya Saldi Isra dan Refly Harun.

Dalam perkembangan diskusi, disepakati menerbitkan perppu. Rapat kami maraton. Terlebh lagi, kami mendengar Presiden SBY pun akan mengubah dan mempercepat jadwal kepulangannya dari Jepang. Presiden akan tiba di Tanah Air pada Selasa, 30 September 2014, dan langsung memimpin rapat soal pilkada. Protokol Istana sudah meminta saya bersiap-siap menyampaikan materi dalam rapat dengan Presiden.

Benar saja. Setibanya di Tanah Air pada Selasa, 30 September 2014, pukul 00.40 WIB, Presiden SBY langsung menggelar rapat kabinet terbatas di Bandara Halim Perdanakusuma. Setelah rapat sekitar 3,5 jam pada dini hari itu, kepada insan pers yang ikut menunggu, Presiden SBY menegaskan sedang menyiapkan plan B untuk mencari solusi terkait RUU pilkada.

"Apa yang bisa kami tempuh untuk menyelamatkan pilkada kembali ke pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan. Plan B inilah yang kami matangkan," kata Presiden tanpa menyebut bahwa yang dimaksud plan B adalah menerbitkan perppu.

Sebelum konferensi pers itu, dalam salah satu ruang VVIP Bandara Halim Perdanakusuma, Presiden memimpin rapat yang antara lain dihadiri Wapres Boediono, Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Mendagri, Seskab, Kapolri, Panglima TNI, Jaksa Agung, dan Menkumham.  Suasana terasa serius, penting.

Selama saya mendampingi Presiden SBY, rapat dengan Presiden hingga tengah malam atau bahkan hingga dini hari kerap kali terjadi. Namun, rapat dimulai dini hari, apalagi langsung setelah Presiden SBY baru kembali dari kunjungan luar negeri, seingat saya baru kali itu terjadi.

Biasanya, setelah kunjungan dari luar negeri, kalaupun ada pertemuan hanya briefing singkat kondisi di dalam negeri, lalu Presiden SBY langsung pulang untuk beristirahat sesudah menempuh perjalanan panjang ke luar negeri yang tentu saja melelahkan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Nasional
Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Nasional
Dukung Khofifah di Pilgub Jatim, Zulhas: Wakilnya Terserah Beliau

Dukung Khofifah di Pilgub Jatim, Zulhas: Wakilnya Terserah Beliau

Nasional
Polisi Buru 2 Buron Penyelundup 20.000 Ekstasi Bermodus Paket Suku Cadang ke Indonesia

Polisi Buru 2 Buron Penyelundup 20.000 Ekstasi Bermodus Paket Suku Cadang ke Indonesia

Nasional
Tanggapi Prabowo, Ganjar: Jangan Sampai yang di Dalam Malah Ganggu Pemerintahan

Tanggapi Prabowo, Ganjar: Jangan Sampai yang di Dalam Malah Ganggu Pemerintahan

Nasional
Tanggapi Prabowo, PDI-P: Partai Lain Boleh Kok Pasang Gambar Bung Karno

Tanggapi Prabowo, PDI-P: Partai Lain Boleh Kok Pasang Gambar Bung Karno

Nasional
Zulhas: Hubungan Pak Prabowo dan Pak Jokowi Dekat Sekali, Sangat Harmonis...

Zulhas: Hubungan Pak Prabowo dan Pak Jokowi Dekat Sekali, Sangat Harmonis...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com