Salin Artikel

Cerita di Balik Perppu Pilkada Langsung dan Opsi atas UU MD3

Setelah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden (melalui Menteri yang hadir) di Rapat Paripurna DPR, penolakan keras dari publik menyebabkan Presiden Joko Widodo akhirnya memilih opsi untuk tidak menandatangani UU MD3 tersebut. Presiden pun mempersilakan publik yang tidak setuju untuk mengajukan uji materi ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi.

Situasi yang nyaris sama, tetapi tentu berbeda, pernah kami alami pada ujung periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Persetujuan bersama atas RUU Pilkada Tidak Langsung juga mendapatkan penolakan keras dari masyarakat luas, yang berujung pada terbitnya peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) Pilkada Langsung.

Kali ini saya ingin berbagi cerita di balik terbitnya Perppu Pilkada Langsung pada pengujung 2014 itu, lalu membahas isu dan opsi hukum yang tersedia untuk UU MD3 yang telah berlaku meskipun tidak ditandatangani Presiden.

*****

Sabtu, 27 September 2014.

Hari telah larut. Jam dinding sudah bergeser mendekati pukul 23.00 WIB. Saya dan istri tengah siap-siap berlabuh di peraduan. Tiba-tiba nada dering ponsel berbunyi, muncul nama di layar “Djoko Menkopolhukam”. Segera saya angkat. Setelah saling berbalas salam, Pak Djoko langsung to the point, seperti biasanya.

“Den, Bapak Presiden mau bicara”.
“Baik Pak”.
“Denny, apa kabar? Sudah mau istirahat?” terdengar suara berwibawa Presiden SBY.
“Alhamdulillah, baik, Pak. Ada perintah, Bapak Presiden?”

“Den, saya mengikuti perkembangan di Tanah Air soal Pilkada. Opsi hukum apa yang tersedia bagi saya untuk menolak RUU Pilkada Tidak Langsung yang baru saja disetujui DPR?” pertanyaan Presiden langsung ke pokok permasalahan.

“Saya sedang memegang UUD 1945. Bukankah menurut Pasal 20 UUD 1945, setiap RUU membutuhkan persetujuan bersama DPR dan Presiden? Jadi jika saya tidak setuju, RUU itu tidak bisa menjadi UU?” Presiden melanjutkan pertanyaannya.

Presiden memang tidak pernah ketinggalan membawa buku saku UUD 1945. Warnanya putih. Di bagian atas kirinya tertulis dengan tinta biru tanda tangan “SB Yudhoyono”. Buku itu selalu ada di saku baju Presiden SBY. Tampilannya sudah mulai lecek, artinya selalu dibuka dan beliau baca. Pemahaman bahwa seorang presiden harus selalu bergerak pada rel konstitusi membuat Presiden tidak pernah lupa membawa “kitab kenegaraan” tersebut.

“Betul, Bapak Presiden. Hanya ada satu masalah. Dalam konvensi ketatanegaraan kita selama ini, persetujuan Presiden terhadap suatu RUU itu biasanya disampaikan oleh menteri. Dan, dalam hal RUU Pilkada ini Mendagri Gamawan Fauzi telah menyampaikan pidato persetujuan atas RUU tersebut,” saya menjelaskan.

“Tetapi saya tidak setuju,” kata Presiden tegas. “Saya juga telah sampaikan pandangan saya dengan gamblang melalui YouTube. Pilkada langsung saja seperti kondisi sekarang tidak tepat, perlu ada perbaikan-perbaikan, utamanya supaya tidak ada money politics. Tetapi Pilkada oleh DPRD saja juga berbahaya. Kalau tidak langsung dipilih rakyat maka yang menentukan kepala-kepala daerah hanya segelintir pemimpin partai di Jakarta saja. Itu sangat berbahaya bagi demokrasi kita.”

“Izin mengajukan pertanyaan, Bapak Presiden.”
“Silakan, Den.”
“Apakah Bapak hanya tidak sepakat dengan RUU Pilkada Tidak Langsung yang baru saja disetujui oleh DPR, atau lebih jauh Bapak betul-betul menolak pilkada tidak langsung dan tetap memperjuangkan pilkada langsung?”

“Betul, Den. Saya ingin pilkada langsung oleh rakyat,” Presiden mengulangi posisinya.

“Jika demikian, pandangan saya hanya ada dua jalan konstitusional yang mungkin dilakukan. Pertama, memastikan soal Presiden telah atau belum memberikan persetujuan atas RUU Pilkada tersebut. Apakah meskipun Mendagri telah menyatakan persetujuannya, tetapi karena pada prinsipnya Presiden belum menyetujui, maka sebenarnya persetujuan Presiden belum diberikan? Artinya ketentuan “persetujuan bersama” dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 belum terpenuhi? Kedua, menggunakan ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945, yaitu Presiden menerbitkan perppu sebagai dasar dilaksanakannya Pilkada langsung oleh rakyat.”

“Baiklah, Den. Untuk yang pertama, coba dicek surat saya, amanat presiden (ampres) yang menjadi dasar para menteri mulai membahas RUU Pilkada tersebut di DPR? Apakah ada di dalam ampres tersebut kewenangan untuk memberikan persetujuan atas RUU?”

“Selanjutnya, coba Denny berkomunikasi dengan para ahli hukum tata negara (HTN). Minta pandangan dan pendapat mereka tentang persoalan ini. Setelah itu kita komunikasi lagi.”

“Baik, Bapak Presiden.” 
“Baik. Denny, selamat istirahat.”

“Denny akan berdikusi dan bertukar pikiran dengan para pakar hukum tata negara,” sayup terdengar suara Presiden SBY berbicara dengan delegasi Republik Indonesia, yang saat itu memang sedang melakukan kunjungan ke Amerika Serikat.

Pembicaraan telepon lebih kurang setengah jam itu berakhir menjelang tengah malam. Saya pandangi istri yang akhirnya belum juga tidur. Saya minta izin, “Ayah mau kerja dulu ya. Menghubungi beberapa ahli tata negara dan menyiapkan pendapat hukum soal RUU Pilkada.”

“Iya. Tetapi ini sudah kemaleman. Apa tidak sebaiknya besok saja?”
Saya menggeleng.

“OK. Tetapi kalau bisa tetap tidur, lho, ya,” Bunda Os—panggilan sayang saya dan anak-anak— mengizinkan sambil mengingatkan agar tetap istirahat. Rossy hapal betul, jika sudah ada tugas penting seperti ini, saya bisa tidak tidur, sepanjang malam hingga dini hari mengetik di depan laptop.

Saya lihat jam tangan. Menjelang dini hari. Rasanya tidak pantas menelepon beberapa pakar hukum tata negara larut begini. Namun, ini persoalan penting, rasanya tidak ada salahnya mencoba. Jari tangan saya memencet nomor Saldi Isra dan Refly Harun, dua pakar HTN yang juga sobat karib saya. Tidak ada yang mengangkat. “Besok saja, sudah terlalu malam,” pikir saya dalam hati.

Saya beranjak mengambil komputer jinjing. Semalaman, setelah itu, saya mengetik dan menyiapkan pendapat hukum untuk Presiden. Sampai mulai terdengar azan shubuh, “Allahu Akbar, Allahu Akbar...,” draf legal opinion saya untuk Presiden SBY sudah hampir selesai. Saya putuskan untuk rehat sejenak. Saya akan cek lagi setelah shalat subuh, sebelum mengirimkannya melalui email ke Presiden.

Paginya, segera saya coba menghubungi empat ahli Hukum Tata Negara, yaitu Prof Mahfud MD, Prof Jimly Asshiddiqie, Prof Saldi Isra, dan Refly Harun. Nama yang terakhir kala itu sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Andalas, Padang, di bawah bimbingan Saldi dan saya.

Semua masukan para ahli itu saya catat dan sampaikan kepada Presiden melalui pendapat hukum tertulis yang saya kirim melalui e-mail pada hari itu juga, Minggu, 28 September 2014.

Inti masukan saya memberikan dua pilihan hukum kepada Presiden, yaitu: 1) menggunakan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang pada dasarnya menyatakan Presiden belum memberikan persetujuan bersama. Meskipun, saya menyadari bahwa konvensi ketatanegaraan akan berpandangan persetujuan Presiden itu telah dilakukan melalui pidato persetujuan Mendagri Gamawan Fauzi pada akhir Rapat Pleno DPR pada saat itu; dan 2) menggunakan Pasal 22 UUD 1945, yaitu menerbitkan Perppu Pilkada Langsung, yang sudah pasti akan disoal pemenuhan syarat konstitusional adanya “kegentingan yang memaksa” sebagai alasan penerbitan Perppu tersebut.

Setelah pembicaraan telepon dengan Presiden SBY, saya mengikuti pemberitaan bahwa Presiden SBY juga berkomunikasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Pada prinsipnya Presiden meminta pandangan hukum MK terkait kapankah sebenarnya persetujuan Presiden dalam hal suatu RUU itu dinyatakan telah efektif diberikan. Lebih spesifik lagi, apakah persetujuan melalui Mendagri Gamawan dalam RUU Pilkada sudah berarti juga persetujuan Presiden?

Belakangan saya mengetahui bahwa untuk menjawab pertanyaan Presiden SBY tersebut MK mengadakan diskusi dan memberikan pandangan bahwa persetujuan Presiden SBY sudah disampaikan melalui Mendagri. Hal mana telah menjadi konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan kita. Pandangan MK tersebut meneguhkan Presiden SBY untuk mencoret pilihan menggunakan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan taat kepada pendapat MK bahwa persetujuan Presiden telah diberikan melalui Mendagri.

Hal itu menyebabkan opsi yang tersedia secara konstitusi untuk Presiden SBY mendukung pilkada langsung oleh rakyat hanya tinggal satu, yaitu menerbitkan perppu. 

Dalam penerbangan dari Seattle menuju Jepang, Pak Djoko Suyanto menelepon dan meminta saya menyiapkan argumentasi hukum dan paparan untuk disampaikan kepada Presiden begitu beliau mendarat kembali di Tanah Air. Saat itu, meskipun sudah mengarah, rencana penerbitan perppu masih disebut sebagai “siap-siap untuk kita mengarah pada Plan B.”

*****

Bergerak cepat, Senin, 29 September 2014, saya mengumpulkan beberapa ahli HTN untuk berdiskusi di kantor Kemenkumham dan menyiapkan serta mengantisipasi penerbitan perppu. Hadir di antaranya Saldi Isra dan Refly Harun.

"Apa yang bisa kami tempuh untuk menyelamatkan pilkada kembali ke pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan. Plan B inilah yang kami matangkan," kata Presiden tanpa menyebut bahwa yang dimaksud plan B adalah menerbitkan perppu.

Sebelum konferensi pers itu, dalam salah satu ruang VVIP Bandara Halim Perdanakusuma, Presiden memimpin rapat yang antara lain dihadiri Wapres Boediono, Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Mendagri, Seskab, Kapolri, Panglima TNI, Jaksa Agung, dan Menkumham.  Suasana terasa serius, penting.

Selama saya mendampingi Presiden SBY, rapat dengan Presiden hingga tengah malam atau bahkan hingga dini hari kerap kali terjadi. Namun, rapat dimulai dini hari, apalagi langsung setelah Presiden SBY baru kembali dari kunjungan luar negeri, seingat saya baru kali itu terjadi.

Biasanya, setelah kunjungan dari luar negeri, kalaupun ada pertemuan hanya briefing singkat kondisi di dalam negeri, lalu Presiden SBY langsung pulang untuk beristirahat sesudah menempuh perjalanan panjang ke luar negeri yang tentu saja melelahkan.

“Rapat kali ini, bahwa kita bertemu, sifatnya bisa disampaikan. Tetapi isi pembicaraannya masih tertutup. Jangan dulu disampaikan,” Presiden SBY memberikan arahan awal dan membuka rapat pada dini hari itu.

Pada kesempatan itu, setelah mendengarkan laporan lebih lengkap tentang proses persetujuan RUU Pilkada di DPR, Presiden mempersilakan saya memaparkan opsi penerbitan perppu. Setelah diperintah Presiden dan meminta izin dari Menkumham, saya jelaskan opsi penerbitan perppu, alasan konstitusionalnya, kelebihan dan kekurangan, serta konsekuensi hukumnya. Saya presentasi selama lebih kurang 20 menit.

Setelah presentasi saya, diskusi mengerucut dengan persetujuan untuk menerbitkan perppu guna menyelamatkan pilkada langsung oleh rakyat dan menyelamatkan demokrasi di tanah air. Saya diminta segera menyiapkan draf perppu yang dibutuhkan. Sejarah mencatat, Perppu Pilkada Langsung terbit, lalu dengan kerja politik akhirnya disetujui DPR.

*****

Cerita di atas membuktikan, RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden, pada kenyataannya bisa menimbulkan dinamika politik-hukum, utamanya karena penolakan publik yang kuat. Hal itu membuktikan ada jarak antara proses legislasi di parlemen dengan aspirasi publik di luar Gedung Senayan.

Hasil perubahan UUD 1945, meskipun memperkuat kewenangan legislasi DPR, sebenarnya tetap memberikan kewenangan sama kuat kepada Presiden melalui frasa “persetujuan bersama” bagi lolosnya suatu RUU.

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut bahkan lebih kuat dibandingkan kewenangan veto Presiden Amerika Serikat, yang masih bisa diveto balik oleh Kongres. Tanpa persetujuan salah satu Presiden atau DPR, suatu RUU tidak mungkin menjadi UU.

Jika presiden tidak setuju atas RUU yang telah disetujui bersama, ada empat opsi konstitusional yang dimiliki presiden. Opsi pertama presiden adalah, tidak menandatangani RUU yang telah disetujui bersama. Penyebabnya mungkin karena desakan publik yang muncul belakangan, atau kurangnya laporan lengkap antara Menteri yang membahas di DPR kepada Presiden.

Awalnya, pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ini dikonstitusikan oleh MPR untuk mengantisipasi presiden yang berubah pikiran setelah persetujuan bersama. Sehingga, maksud awal parlemen adalah menutup peluang presiden untuk menghentikan berlakunya suatu RUU, karena meskipun tidak ditandatangani, dalam waktu 30 hari RUU itu tetap berlaku menjadi UU.

Dengan kasus-kasus di atas, Pasal 20 ayat (5) telah bermertamorfosis menjadi jalan keluar bagi presiden untuk menunjukkan kepada publik bahwa ia tidak setuju atas suatu RUU, meskipun sebenarnya telah melewati persetujuan bersama.

Opsi kedua, presiden menggunakan emergency power dalam hal kewenangan legislasinya, dengan menerbitkan perppu, tentu dengan dasar konstitusional kegentingan yang memaksa.

Kewenangan legislasi darurat yang selalu melekat pada seorang presiden itu telah diputuskan oleh MK. Ukuran kegentingannya adalah subyektivitas presiden, yang obyektivitas politiknya dinilai oleh DPR.

Opsi ini menunjukkan sikap presiden lebih jauh, tidak hanya menunjukkan tidak setuju, tetapi juga mengubah substansi RUU yang ditolak publik itu melalui perppu. Tentu ada risiko politiknya, yaitu jika ditolak DPR. Namun, imbal baliknya, presiden dinilai masyarakat lebih serius dan tegas dalam menunjukkan ketidaksetujuannya atas UU MD3.

Opsi ketiga adalah melalui legislative review, yaitu mengubah UU MD3 yang sudah berlaku melalui proses normal revisi di parlemen. Proses ini juga membutuhkan persetujuan DPR. Meskipun lebih aman dari serangan politik DPR kepada presiden, tetapi opsi ini lebih lambat dan substansi peraturannya tidak bisa dirumuskan sendiri oleh presiden.

Opsi keempat, mengubah melalui constitutional review atau konstitusionalitas di MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Meskipun hadir di persidangan dengan DPR, presiden bukan yang berinisiatif dalam proses ini. Yang aktif adalah publik sebagai pemohon, dan keputusan ada di tangan sembilan hakim MK.

Itulah empat opsi yang dimiliki presiden dalam hal suatu RUU yang telah disetujui bersama DPR kemudian menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat. Masing-masing opsi itu konstitusional dan sejalan dengan UUD 1945. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.

Opsi mana pun yang dipilih presiden adalah sah. Kondisi sosial politik akan mempengaruhi keputusan presiden. Pilihan presiden yang satu belum tentu sama dengan pilihan presiden yang lain.

Bagaimana pemahaman presiden atas masalah yang ada dan pesan politik apa yang ingin ditegaskan oleh presiden akan menentukan opsi mana yang akan dipilih. Dan, rakyatkah yang akan melihat dan menilai pilihan presidennya. 

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/17/09425041/cerita-di-balik-perppu-pilkada-langsung-dan-opsi-atas-uu-md3

Terkini Lainnya

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup, Kaesang: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup, Kaesang: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke