Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fredrich Ancam Tak Mau Hadir Sidang, Bagaimana Kelanjutan Proses Hukum?

Kompas.com - 06/03/2018, 09:25 WIB
Abba Gabrillin,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, merasa kesal dan tak terima materi eksepsinya ditolak oleh majelis hakim dalam sidang putusan sela yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/3/2018).

Fredrich memaksa hakim untuk menerima pengajuan banding yang ia buat sendiri. Namun, pengajuan banding itu tetap ditolak hakim.

Di tengah luapan emosinya, Fredrich mengancam tidak akan mau menghadiri persidangan selanjutnya. Lantas, apabila hal itu benar terjadi, bagaimana kelanjutan proses hukum di pengadilan?

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hukum acara pidana menjelaskan bahwa setiap persidangan wajib dihadiri oleh terdakwa. Sebab, yang menjadi dasar penyelenggaraan sidang adalah surat dakwaan terhadap terdakwa.

Menurut Fickar, persidangan tanpa kehadiran terdakwa hanya bisa dilakukan dalam persidangan dengan konsep in absentia. Biasanya, sidang tanpa kehadiran pihak tergugat ini dalam perkara pelanggaran lalu lintas, atau bagi perkara tindak pidana ringan.

"Kecuali perkara pidana yang boleh diadili secara in absentia, maka kehadiran terdakwa sangat dibutuhkan," kata Fickar kepada Kompas.com, Senin.

(Baca juga: Kalau Fredrich Tidak Kooperatif, KPK Pertimbangkan Tuntutan Maksimal)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai mekanisme persidangan tanpa kehadiran terdakwa.

Dalam Pasal 38 ayat 1 dijelaskan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Fickar mengatakan, pemanggilan terdakwa ke muka persidangan artinya pengadilan sudah memberikan hak dan kebebasan kepada para pihak, di mana jaksa punya kewenangan sekaligus kebebasan untuk mendakwa terdakwa berdasarkan alat bukti yang sudah dikumpulkan.

Demikian juga diberikan kebebasan dan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri dan membantah segala dakwaan yang dianggap tidak benar oleh terdakwa.

"Artinya majelis hakim sudah menjalankan asas 'audi et alteram partem', asas peradilan yang memberikan hak yang sama kepada para pihak," kata Fickar.

Dalam persidangan, Fredrich juga mengatakan bahwa sekalipun dirinya dipaksa hadir ke persidangan, dia tidak akan mau mendengarkan dan tidak akan memberikan tanggapan sedikit pun.

Menurut Fickar, jika sudah diberikan haknya, namun terdakwa tidak mau menggunakan haknya itu untuk menjawab dan membela diri, maka pemeriksaan acara sidang akan berjalan terus.

Dalam Pasal 52 KUHAP, dijelaskan bahwa dal pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Dalam hal ini termasuk hak untuk tidak memberikan keterangan.

Kompas TV Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak nota keberatan terdakwa perintangan penyidikan kasus KTP elektronik Fredrich Yunadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com