JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi PDI Perjuangan Puan Maharani berpendapat, Presiden Joko Widodo memiliki hak bertemu dengan seluruh pimpinan partai politik di Istana Presiden.
"Sudah sewajarnya Presiden bersilaturahmi dengan partai-partai politik atau ketua umum-ketua umum partai politik. Memang harus begitu," ujar Puan di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (5/3/2018).
Puan yang juga merupakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu tidak melihat ada maladministrasi apabila seorang Presiden melakukan hal itu.
"Maladministrasinya sebelah mana ya? Sebagai Presiden, tentu saja Beliau berhak bertemu dengan rakyatnya, apakah yang berasal dari partai politik, atau bukan," kata Puan.
"Kan partai politik ini bukan partai politik yang abal-abal atau tidak jelas, ini kan sudah sesuai konstitusi," ujar dia.
(Baca juga: Laporkan Pertemuan Jokowi-PSI ke Ombudsman, ACTA Dinilai Salah Alamat)
Saat ditanya spesifik soal pertemuan Presiden Jokowi dan elite Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menuai polemik lantaran salah satu topik pembahasannya pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, Puan mengaku tidak mengetahuinya.
Ia tidak ikut dalam pertemuan itu, sehingga tidak mengetahui pasti apa saja topik pembahasan antara Presiden Jokowi dengan elite PSI.
Meski demikian, berdasarkan pengalaman Puan, terkadang topik pembahasan Presiden Jokowi dengan tamu yang berasal dari partai politik bukanlah hal yang serius.
"Kadang-kadang juga tidak ada pembicaraan penting. Kadang makan pisang goreng sambil minum teh. Kadang-kadang juga ngobrol-ngobrol, ngalur-ngidul bagaimana situasi Indonesia yang sekarang," ujar Puan.
"Ada juga bicara misalnya, 'Kopi yang enak itu apa sih? Pisang goreng yang enak itu apa sih?' Jangan kemudian ketika ada pertemuan di Istana itu selalu serius. Kadang-kadang ya serius, tapi juga nggak serius," kata dia.
(Baca juga: Pramono Anung: PSI Kan Partai Baru, Mungkin "Excited")
Sebelumnya, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) melaporkan pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke Ombudsman.
Wakil Ketua ACTA Ali Lubis mengatakan, yang dilaporkan pihaknya yakni peristiwa pertemuan Jokowi dan PSI, bukan Presiden atau partai politiknya. Pihaknya melaporkan peristiwa itu karena pertemuan Presiden Jokowi dan PSI di Istana dibahas mengenai pemenangan Pilpres 2019.
Menurut dia, laporan sudah diterima oleh pihak Ombudsman. Dia menunjukkan tanda bukti penerimaan laporan. Namun, dalam laporan, pihaknya tidak menyertakan siapa terlapornya.
"Jadi kami di sini bukan melaporkan Presiden atau partainya, tapi peristiwanya," kata Ali di gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta, Senin siang.
Soal tidak disertakannya Terlapor dalam pengaduan ACTA, Wakil Ketua Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, hal tersebut berarti tidak memenuhi syarat formal yang ditentukan undang-undang perihal pengaduan ke lembaganya.
"Enggak boleh. Itu kan syarat formal malahan, harus jelas pelapornya siapa, terlapornya siapa, harus jelas. Kalau orang melaporkan, yang dilaporkan enggak tahu, ya enggak mungkin toh," kata Ninik, saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/3/2018).
Ombudsman, lanjut Ninik, tidak bisa menentukan siapa Terlapor dalam suatu pengaduan. Pihak Terlapor itu, lanjut Ninik, harus berdasarkan permintaan Pelapor.
"Jadi terlapornya siapa, itu permintaan Pelapor. Siapa yang mau dilaporkan, ya kalau enggak jelas, siapa yang mau dilaporkan?" ujar Ninik.