Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai, UU MD3 adalah bentuk kepanikan DPR yang terus mendapatkan sorotan tajam dari publik akibat kinerjanya yang dinilai tak kunjung membaik.
Ia mempertanyakan hikmah dan kebijakan DPR sebagai lembaga negara. Lewat UU MD3, DPR justru memasukan semangat memidanakan setiap orang yang mengkritik tajam pribadi dan lembaga yang disebut wakil rakyat itu.
Sementara itu, Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan, DPR sudah mengacaukan ketatanegaraan yang sudah dibangun selama ini.
Sebab lewat UU MD3, DPR sudah melampaui kewenanganya sebagai lembaga legislatif, bahkan justru terkesan mengambil alih sebagian kewenangan lembaga lainnya.
"Tahun 2018 reformasi genap berusia dua dekade, 20 tahun, tetapi nampaknya, 20 tahun ini perlu kita peringati dengan suasana yang memprihatinkan," kata Arif
"DPR sudah menyeret kita untuk set back, kita mengalami kemunduran. Mestinya harus bicara soal konsolidasi demokrasi, alih-alih demokrasi kita lebih konsolidatif yang terjadi adalah sebuah langkah mundur," sambung dia.
Gugat ke MK
Ketua DPR Bambang Soesatyo mempersilakan masyarakat menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jika ada pihak-pihak yang tidak puas, dapat mengajukan keberatan ke MK sebagai lembaga negara yang berhak menentukan suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi," kata Bamsoet.
(Baca: Ketua DPR Persilakan Masyarakat Gugat Undang-undang MD3 ke MK)
Ia menambahkan, DPR dalam membahas UU MD3 selalu mengacu pada ketentuan hukum yang ada sehingga tak melanggar norma hukum manapun.
Ia menilai, wajar bila DPR dilindungi kehormatannya melalui hak imunitas yang melekat. Menurut dia profesi apapun layak dilindungi kehormatannya selama menjalankan tugas.
"Bukan hanya DPR, tapi setiap profesi memerlukan perlindungan atas kehormatannya, karena beda penghinaan sama kritik," kata Bamsoet.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Ia mempersilakan masyarakat menggugat Undang-undang MD3 bila tidak puas.
"Kami melihat ada saluran bagi pihak yang menginginkan dilakukan JR (judicial review) terhadap pasal tertentu, meskipun semangat pasal itu bukan berarti antikritik, tetapi persoalan kalau ada penghinaan terhadap lembaga yang memang di luar negari ada juga itu," papar Fadli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.