Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU MD3, Kado Memprihatinkan Dua Dekade Reformasi

Kompas.com - 14/02/2018, 12:26 WIB
Yoga Sukmana,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

KOMPAS.com - "Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan..., Saya minta maaf, palunya patah. Lantas Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab 'barangkali palunya kendor'," ungkap Ketua DPR periode 1997-1999 Harmoko dalam buku Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko.

Patahnya palu dalam Sidang Paripura ke-V 11 Maret 1998 silam menandai terpilihnya lagi Soeharto menjadi Presiden untuk ke-7 kalinya.

Namun, hanya dalam 70 hari setelah itu, Soeharto memutuskan mundur dari jabatanya lantaran desakan publik yang besar pada 21 Mei 1999.

Lengsernya Soeharto menandai munculnya era baru bernama reformasi. Suatu era baru mengembalikan demokrasi yang dianggap lenyap selama 32 tahun Orde Baru berkuasa.

Tak terasa, pada tahun ini, tepatnya 21 Mei 2018 nanti, reformasi akan genap berusia 20 tahun.

Momen itu pula bisa digunakan sebagai refleksi sejauh mana cita-cira reformasi digapai.

(Baca juga : Beberapa Pasal di UU MD3 yang Membuat DPR Kian Tak Tersentuh)

Namun, jelang dua dekade reformasi, kado untuk rakyat datang dari DPR, yang bersama pemerintah menyetujui revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Pengesahan UU MD3 menuai reaksi keras publik. Bagaimana tidak, beberapa pasal di dalam UU tersebut justru dinilai tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan prinsip Indonesia sebagai negara hukum.

Pasal 122 huruf k, misalnya, mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Melalui Pasal 122 huruf k UU MD3, maka anggota DPR yang merasa publik telah menghina dirinya atau DPR, maka ia bisa melaporkan hal tersebut kepada MKD.

(Baca juga : UU MD3 Dikhawatirkan Jadi Alat DPR Membungkam Kritik Masyarakat)

Setelah diproses oleh MKD dan dinilai merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya, maka MKD bisa memidanakan orang perserorangan atau kelompok tersebut kepada Kepolisian.

Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapus norma serupa di KUHP yang terkait dengan penghinaan pejabat negara dalam hal ini presiden dan wakil presiden pada 2006 silam.

Dalam putusanya Nomor 013-022/PUU-IV/2016, MK menilai, pasal dengan norma tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi yang dituntut saat reformasi lalu.

Kini, DPR menghidupkan norma pasal tersebut di dalam UU MD3 dalam konteks pejabat negara, untuk melindugi lembaga dan institusinya dari kritik keras publik atas kinerja DPR dan perilaku para anggota DPR.

Lewat Pasal 122 huruf k ini pula, DPR mengubah fungsi MKD yang awalnya pengawas pelanggaran etika oleh anggota DPR, menjadi alat untuk melindungi anggota DPR dari kritik keras dan olok-olok publik.

(Baca juga : MKD Jamin Tak Gunakan UU MD3 untuk Perlambat Proses Hukum Terkait Anggota DPR)

Padahal, MKD hanya badan pengawas etika para enggota DPR, bukan lembaga yudikatif.

"Ini aneh, ya kan?" ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow di Jakarta.

Selain itu, ada pula Pasal 245. Pasal itu mengatur, pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.

Padahal, pada September 2015, MK memutuskan penegak hukum hanya harus mendapat izin presiden jika ingin memeriksa anggota DPR.

Dengan begitu, tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Dengan dibangkitnya lagi pasal tersebut, DPR dinilai sudah menabrak ketentuan MK.

Substansi lainnya di UU MD3 yang ditentang publik, yakni Pasal 73. Dengan pasal tersebut, DPR atas bantuan Polisi memiliki kewenangan untuk memanggil paksa siapa saja yang enggan datang saat dipanggil DPR.

Bahkan, Kepolisian diperbolehkan menyandera orang-orang yang tidak mau datang ke DPR selama 30 hari.

Anehnya, kalau lah boleh dibilang seperti itu, DPR juga punya kewenangan untuk menolak seseorang hadir ke DPR.

Coba tengok masalah Pansus Pelindo II. Setelah merekomendasikan Presiden memecat Menteri BUMN Rini Soemarno, DPR melarang Rini untuk ikut rapat kerja di DPR.

(baca: Pertama dalam Sejarah, 2 Tahun Menteri Tak Hadiri Raker dengan DPR)

Hingga saat ini, rapat kerja antara DPR dengan Kementerian BUMN tak pernah dihadiri oleh Rini.

Presiden Joko Widodo lantas menunjuk Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mewakili Rini.

Kewenangan memilih dan memberhentikan menteri adalah kewenangan Presiden, bukan DPR.

DPR panik

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai, UU MD3 adalah bentuk kepanikan DPR yang terus mendapatkan sorotan tajam dari publik akibat kinerjanya yang dinilai tak kunjung membaik.

Ia mempertanyakan hikmah dan kebijakan DPR sebagai lembaga negara. Lewat UU MD3, DPR justru memasukan semangat memidanakan setiap orang yang mengkritik tajam pribadi dan lembaga yang disebut wakil rakyat itu.

Sementara itu, Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan, DPR sudah mengacaukan ketatanegaraan yang sudah dibangun selama ini.

Sebab lewat UU MD3, DPR sudah melampaui kewenanganya sebagai lembaga legislatif, bahkan justru terkesan mengambil alih sebagian kewenangan lembaga lainnya.

"Tahun 2018 reformasi genap berusia dua dekade, 20 tahun, tetapi nampaknya, 20 tahun ini perlu kita peringati dengan suasana yang memprihatinkan," kata Arif

"DPR sudah menyeret kita untuk set back, kita mengalami kemunduran. Mestinya harus bicara soal konsolidasi demokrasi, alih-alih demokrasi kita lebih konsolidatif yang terjadi adalah sebuah langkah mundur," sambung dia.

Gugat ke MK

Ketua DPR Bambang Soesatyo mempersilakan masyarakat menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jika ada pihak-pihak yang tidak puas, dapat mengajukan keberatan ke MK sebagai lembaga negara yang berhak menentukan suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi," kata Bamsoet.

(Baca: Ketua DPR Persilakan Masyarakat Gugat Undang-undang MD3 ke MK)

Ia menambahkan, DPR dalam membahas UU MD3 selalu mengacu pada ketentuan hukum yang ada sehingga tak melanggar norma hukum manapun.

Ia menilai, wajar bila DPR dilindungi kehormatannya melalui hak imunitas yang melekat. Menurut dia profesi apapun layak dilindungi kehormatannya selama menjalankan tugas.

"Bukan hanya DPR, tapi setiap profesi memerlukan perlindungan atas kehormatannya, karena beda penghinaan sama kritik," kata Bamsoet.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Ia mempersilakan masyarakat menggugat Undang-undang MD3 bila tidak puas.

"Kami melihat ada saluran bagi pihak yang menginginkan dilakukan JR (judicial review) terhadap pasal tertentu, meskipun semangat pasal itu bukan berarti antikritik, tetapi persoalan kalau ada penghinaan terhadap lembaga yang memang di luar negari ada juga itu," papar Fadli.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com