Oleh karena itu, jika DPR dan pemerintah memberlakukan secara khusus ketentuan penghinaan terhadap presiden, maka akan bertentangan dengan konstitusi.
Formulasi
Jika DPR dan pemerintah masih berkeras membuat ketentuan itu, kata Fickar, ada beberapa formulasi yang perlu disusun agar tidak bertentangan dengan HAM.
Pertama, sebagaimana aturan mengenai pencemaran nama baik, maka penanganan kasus itu harus berdasarkan delik aduan. Kemudian, ancaman hukumannya juga tidak terlalu berat, yakni di bawah lima tahun.
"Agar tidak bisa ditahan dan agar tidak dijadikan alat oleh siapapun, termasuk pejabat publik, bahkan Presiden, untuk memukul lawan politiknya," kata Fickar.
(Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik, Ini Kata Ketua DPR)
Pasal 238 ayat (1) berbunyi, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori I.
Sedangkan, pasal 238 ayat (2) berbunyi, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan, ada beberapa poin yang belum disepakati, yakni mengenai besaran ancaman pidana hingga jenis delik yang akan diterapkan dalam pasal ini.
Bamsoet mendorong Panja RUU KUHP dan pemerintah bisa segera menemukan formulasi terbaik. Ia berharap kepentingan rakyat untuk mengkritik pemerintah tetap tidak terhalang dengan adanya pasal penghinaan presiden ini.
“Kami harapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR tanpa mengesampingkan kepentingan rakyat,” ujar Bamsoet.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan