JAKARTA, KOMPAS.com - Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden akan dihidupkan lagi. Saat ini, pasal itu sudah masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti rencana memasukkan pasal ini dalam revisi KUHP sarat kepentingan penguasa.
Ray menyebutkan, pada 2013 lalu PDI-P pernah sangat menolak memasukkan pasal ini dalam revisi KUHP. Alasannya, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006.
"Ketika mau diusulkan kembali, (saat itu) reaksi mereka negatif. Sekarang, mereka setuju," kaya Ray di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Baca juga : Golkar Minta Pasal Penghinaan Presiden Jadi Delik Aduan
Atas dasar itu, Ray melihat rencana memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wapres lebih dilatarbelakangi alasan pilihan politik.
Adanya pasal ini, sambung dia, bukan dikarenakan kesadaran membangun etika dan sistem demokrasi yang sehat.
"Ketika dia berkuasa, dia butuh poin ini. Dia dorong poin ini maju untuk melindungi kekuasaan tentu saja. Tetapi ketika dia di oposisi, dia takut pada poin ini," ujar Ray.
Baca juga : Anggap Demokrasi Kebablasan, PDI-P Dukung Pasal Penghinaan Presiden
Lebih lanjut, dia menuturkan, bukan tidak mungkin ketika nantinya posisi berubah, yang berkuasa di pemerintahan menjadi oposisi dan sebaliknya, sikap politik akan berbeda lagi.
"Yang kemarin menolak, akan mendukung. Yang kemarin mendukung, akan menolak lagi," katanya.
"Artinya apa? Bagi politisi, poin ini tentang siapa yang berkuasa. Jadi ini bukan kepentingan bangsa dan negara, tetapi kepentingan siapa yang berkuasa," pungkasnya.