JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membantah bahwa pasal penghinaan presiden yang tengah dibahas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan pesanan Presiden Joko Widodo.
"Enggak lah. Pasal itu sebelum pemerintahan ini ada sudah dibahas. Itu kan di draft," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, pasal terkait penghinaan presiden ini diperluas dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi.
(Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Bawa Indonesia ke Era Otoriter)
Yasonna menegaskan, aturan tersebut tidak dibuat untuk membatasi masyarakat mengkritik Presiden.
"Jadi harus dibedakan mengkritik dengan menghina. Kalau mengkritik itu oke-oke saja," kata Yasonna.
Yasonna memastikan, nantinya akan dibuat batasan yang jelas sehingga pasal ini tidak multitafsir. Ia memastikan masyarakat tetap bisa menyampaikan kritik yang membangun terhadap presiden.
"Kalau mengkritik pemerintah itu memang harus, tapi menghina itu soal personal, soal yang lain, ini simbol negara," kata dia.
(Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Pasal Penghinaan Presiden Tetap Ada dalam RKUHP)
Aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar, mengkritik munculnya pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP. Haris mencium adanya kepentingan Presiden Joko Widodo untuk berlindung di balik pasal tersebut.
"Presiden pasti menikmati pasal ini. Pasal ini bisa digunakan untuk membungkam mereka yang kritis kepada Presiden," kata Haris kepada Kompas.com, Jumat (2/1/2018).
(Baca: Jokowi Dinilai Berlindung di Balik Pasal Penghinaan Presiden)
Haris menilai, munculnya pasal ini juga menandakan bahwa Jokowi tidak siap menerima kritik dari masyarakat. Harusnya, kata dia, Jokowi sebagai kepala negara mesti tahu betul risiko memimpin Indonesia sebagai negara demokrasi.
"Sebab, yang dikritik itu posisinya sebagai presiden, bukan personalnya," kata Direktur Eksekutif Lokataru Foundation ini.