JAKARTA KOMPAS.com - Terjunnya sejumlah perwira aktif TNI dan Kepolisian RI di kancah Pilkada Serentak 2018 terus menuai kritik.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai, tindakan parpol itu bertolak belakang dengan semangat reformasi 1998.
"Parpol dulu memperjuangkan (reformasi) supremasi sipil dan mendorong TNI-Polri profesional dan kembali ke barak," ujar Wahyudi, dalam konferensi pers di Kantor Kontras, Jakarta, Selasa (9/1/2018).
"Hari ini, justru parpol membuka pintu lebar-lebar partisipasi TNI-Polri aktif untuk (kembali ke) kontestasi politik," lanjut dia.
Baca juga: Deddy Mizwar: Pilkada Jabar Sekarang Perang Para Jenderal, Saya Jenderal Naga Bonar
Sejak reformasi 1998, TNI-Polri tak lagi aktif berpolitik. Hal itu dilakukan untuk memperkuat supremasi sipil setelah 32 tahun pemerintahan Orde Baru.
Kemudian, hal itu dipertegas dengan lahirnya UU TNI dan Polri yang melarang keterlibatan anggota aktifnya dalam politik praktis.
Akan tetapi, kata Wahyudi, menjelang 20 tahun reformasi, 21 Mei 2018, semangat itu justru diciderai oleh sikap parpol yang menarik perwira aktif TNI-Polri maju dalam Pilkada 2018.
Baca: Drama dan Jenderal Aktif TNI AD dan Polri di Pilkada 2018
Menurut dia, hal ini menunjukkan kegagalan partai melahirkan kader-kader sipil yang potensial. Sebagai jalan pintas, anggota TNI-Polri ditarik meski belum resmi mengundurkan diri.
"Mereka seharusnya melahirkan kader-kader sipil potensial untuk menduduki posisi sipil demi menegakan supremasi sipil. Ini justru malah memberikan ruang TNI-Polri kembali ke politik," kata Wahyudi.