Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fahri Hamzah Sebut Penetapan Tersangka Novanto "Sandiwara" KPK

Kompas.com - 13/11/2017, 12:49 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut penetapan tersangka terhadap Ketua DPR Setya Novanto merupakan sandiwara.

Novanto sebelumnya kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek e-KTP untuk kedua kalinya.

"Ini karangan-karangan yang tidak ada dasar validnya di dalam hukum," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/11/2017).

Fahri menyebutkan, pada awal kasus e-KTP diungkap, KPK menyampaikan bahwa mastermind atau "otak" proyek tersebut adalah politisi Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Ketua Fraksi Partai Demokrat saat itu Anas Urbaningrum, dan Setya Novanto saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.

Namun, Fahri mempermasalahkan pada perjalanan pengusutan kasus e-KTP justru keterlibatan Nazaruddin dan Anas tak dilanjutkan.

"Keterlibatan Nazar dan Anas mana? Kok, enggak ada? Berani enggak KPK membongkar partai berkuasa di masa itu? Kenapa larinya ke Golkar? Kan, Golkar bukan partai penguasa," ujar Fahri.

(Baca juga: Tak Penuhi Panggilan KPK, Novanto Kembali Beralasan Izin Presiden)

Anas kemudian menjabat Ketua Umum Partai Demokrat saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden. Sementara Nazaruddin menjadi Bendahara Umum di bawah kepemimpinan Anas.

Anas dan Nazaruddin sendiri menjadi terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK.

Di samping itu, Fahri juga mempermasalahkan kerugian negara akibat kasus e-KTP yang disebut mencapai Rp 2,3 triliun. Menurut dia, kerugian tersebut hingga kini tak terbukti.

Hal itu, kata dia, telah diperkuat dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Fahri menyebutkan, BPK mengatakan tak ada kerugian negara, yang ada hanya pembayaran yang kurang. Sementara BPKP, ujar Fahri, menyatakan bahwa tak ada masalah dalam audit harga pengadaan.

Ia menambahkan, dirinya mendapatkan informasi bahwa ada pimpinan KPK yang menyatakan bahwa Novanto harus diproses hingga masuk penjara.

"Kata mereka, 'Bagi kami Setya Novanto adalah mahkota KPK. Kalau dia tidak dipenjara, hancurlah KPK'," ujar Fahri.

"Itu konfirmasinya datang dari beberapa tempat, kemudian juga Pak Nov istilahnya mengiyakan," katanya.

(Baca juga: Harapan Setya Novanto pada HUT-nya Saat Kembali Jadi Tersangka)

Ketua DPR Setya Novanto (batik coklat) meninggalkan ruang persidangan usai bersaksi di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11/2017). Hari ini, Novanto hadir menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi NarogongKOMPAS.com/Andreas Lukas Altobeli Ketua DPR Setya Novanto (batik coklat) meninggalkan ruang persidangan usai bersaksi di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11/2017). Hari ini, Novanto hadir menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong
Menurut Fahri, sulit mengungkap peristiwa pidana yang dilakukan Novanto karena memang hal itu dicari-cari KPK. Fakta yang diungkap pada persidangan, menurut dia, hanya soal pertemuan-pertemuan yang dihadiri Novanto.

"Sekarang kasus apa sih ini sebetulnya? Mastermind-nya enggak diungkap, partai penguasa dilindungi, Golkar diburu ketua umumnya, kerugian negara juga enggak ada. Sekarang apa lagi nih yang mau disandiwarakan?" katanya.

Dalam dakwaan terhadap dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Novanto diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.

Kesepakatannya, dari anggaran Rp 5,9 triliun, 51 persen anggaran atau sejumlah Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belaja rill proyek.

Sisanya 49 persen atau Rp 2,5 triliun akan dibagi kepada sejumlah pihak.

(Baca juga: Dakwaan Kasus Korupsi e-KTP, Setya Novanto Diberi Jatah Rp 574 Miliar)

Sementara rincian dari 49 persen itu adalah, pejabat Kemendagri direncanakan dapat 7 persen dan sejumlah anggota Komisi II DPR dianggarkan 5 persen.

Selain itu, kepada Novanto dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong 11 persen atau senilai Rp 574.200.000.000. Anas dan Nazaruddin juga direncanakan mendapat 11 persen.

Kemudian, sisa 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.

Menurut KPK, uang suap dibagi-bagikan terlebih dahulu sebelum anggaran Rp 5,9 triliun itu disetujui di DPR. Cara korupsi seperti itu dikenal dengan praktik ijon.

"Pada dua tahap awal proyek, kami menemukan indikasi yang disebut dengan praktik ijon," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta pada 7 Maret 2017.

(Baca: KPK: Ada Praktik Ijon dalam Kasus Korupsi e-KTP)

Kompas TV Setya Novanto terus melakukan perlawanan hukum terhadap penetapannya kembali sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com