JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri menggelar rapat koordinasi persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 di hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin, (23/10/2017).
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono, dalam sambutannya mengatakan bahwa ada sejumlah hal yang patut diwaspadai saat berlangsungnya pilkada di 171 daerah mendatang.
"Rujukan indeks kerawanan pilkada menjadi salah satu parameter dalam mewaspadai daerah yang rawan gangguan, kelompok separatis dan rawan konflik," kata Sumarsono.
Ia pun mengungkapkan risiko-risiko yang perlu diantisipasi. Pertama risiko umum, adanya faktor gangguan alam seperti cuaca buruk, gunung meletus, gempa bumi, banjir dan lainnya.
"Sedangkan faktor keamanan adalah terorisme, separatisme, radikalisme, unjuk rasa, konflik komunal," kata dia.
Kedua, faktor politik hukum. Daftar pemilih tetap (DPT) yang belum selesai dianggap berpotensi menjadi masalah. Ini termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal cuti kampanye bagi petahana.
"Lainnya gambaran distribusi logistik, rendahnya paritsipasi, netralitas penyelenggara. Juga kemungkinan adanya intervensi asing yang merugikan kepentingan Indonesia," ucap Sumarsono.
(Baca juga: Kapolri Minta Pilkada Serentak 2018 Tidak Diwarnai Konflik)
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa ada risiko dalam tiap tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.
Pertama, tahapan pendaftaran pasangan calon. Tahapan tersebut potensial adanya konflik kepengurusan partai politik dan dukungan e-KTP bagi calon perseorangan.
Kedua, tahapan distribusi logistik pilkada. Dalam tahap ini, berisiko adanya keterlambatan distribusi logistik tiba di TPS.
"Ada juga potensi atau upaya pencurian, upaya sabotase logistik pilkada dan lainnya," kata Sumarsono.
(Baca juga: Kemenhub Siap Dukung KPU untuk Distribusi Logistik Pilkada 2018)
Keempat, tahapan masa tenang kampanye pilkada. Dalam tahapan ini potensial terjadi money politic dan kampanye hitam, sabotase, ancaman penculikan serta kampanye golongan putih (golput) untuk tidak memilih.
Kelima, tahapan pemungutan suara. Praktek money politic masih potensial terjadi, termasuk juga kerusuhan dan keributan di TPS serta ancaman terorisme dan sabotase.
Keenam, tahapan penghitungan suara. Di mana berpotensi adanya protes hasil penghitungan, penggelembungan hasil penghitungan suara, mengulur-ulur waktu penghitungan suara hingga tindak kekerasan dan perusakan.
"Ini belum terjadi tapi perlu diantisipasi, ini hanya perhitungan risiko," ujar Sumarsono.
Terakhir yakni tahapan penetapan pemenang pilkada. Dalam tahap ini berpotensi terjadinya unjuk rasa yang diikuti perusakan dan bentrokan massa akan penolakan penghitungan suara.
"Semua itu mudah-mudahan tidak terjadi. Semua bisa aman, nyaman dan damai, namun tidak ada salahnya dari segi pengaman diantisipasi," tutur Sumarsono.
(Baca juga: Kata Tjahjo, Konflik Pasca-pilkada Terjadi karena Masyarakat Kurang Paham Aturan)
Tujuan rakor
Adapun Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Ditjen Otda Kemendagri, Akmal Malik Piliang mengatakan, rakor bertujuan untuk menguatkan koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan penyelenggara pilkada serta pihak terkait.
"Ini agar bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing khususnya dalam menjamin terakomodasinya hak konstitusi masyarakat," kata Akmal.
Tak hanya itu, menurut Akmal, rakor tersebut juga dalam rangka untuk menjamin dukungan anggaran dari pemda, cipta kondisi keamanan dan ketertiban serta mewujudkan netralitas aparatur sipil negara (ASN).
"Termasuk hal-hal strategis lainnya yang melingkupi Pilkada 2018," ujar dia.
Usai rakor ini kata Akmal, pihaknya juga akan menggelar rakor teknis pelaksanaan persiapan Pilkada Serentak 2018 dalam waktu dekat.
"Nantinya akan dihadirkan pihak-pihak terkait seperti pemda, penyelenggara pilkada dan Forkompinda untuk memastikan kesiapan teknis pelaksanaan Pilkada Serentak 2018," ujar dia.
Rakor ini kurang lebih diikuti 600 peserta meliputi gubernur, bupati dan wali kota daerah peserta pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi, dan kabupaten/kota.