JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyatakan, pengkajian yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menemukan tujuh dugaan penyimpangan yang dilakukan hakim yang memimpin sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto, Cepi Iskandar.
Hal ini yang menjadi alasan Koalisi Antikorupsi melaporkan hakim Cepi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA), Kamis (5/10/2017).
"Kita lihat ada tujuh temuan selama proses praperadilan Setya Novanto," kata Kurnia, di kantor Bawas MA, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis siang.
Pertama, lanjut Kurnia, hakim Cepi memeriksa materi praperadilan yang bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Seharusnya, upaya hukum yang diajukan Novanto, tersangka korupsi e-KTP melalui praperadilan, ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebab, menurut Kurnia, obyek yang dijadikan gugatan sudah melanggar KUHAP, yaitu penetapan tersangka.
(Baca juga: Menangkan Setya Novanto, Hakim Cepi Dilaporkan ke Badan Pengawas MA)
Ketentuan yang dilanggar adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, "Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini".
Kemudian, menurut Kurnia, Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, "Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan".
Namun, sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan.
Ketetapan ini berdasarkan putusan uji materi terhadap KUHAP yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah.
(Baca juga: MK Putuskan Penetapan Tersangka Termasuk Obyek Praperadilan)