Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Kisah Seorang Anak SMP di Tahun 1984 dan Film Pengkhianatan G30S/PKI

Kompas.com - 20/09/2017, 11:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Mana yang benar, dan mana yang cuma adegan film, campur aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orangtua ketika itu adalah, “Apakah betul itu kejadian sebenarnya?”

Dan Ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya, hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.”

Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman) tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia, buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film itu.

Menemukan fakta

Di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, saya seorang wartawan. Saya lalu bersinggungan lagi cukup intens dengan tema ini ketika majalah berita tempat saya bekerja, majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998.

Saya mewawancarai  dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.

Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.

Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”

Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata? “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.

Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap wawancara saya di majalah D&R itu. Satu lagi, pada edisi Oktober 1998 itu saya juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.

Baca juga: Soal Film G30S/PKI, Panglima TNI Sebut Ide Presiden Jokowi Luar Biasa

Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara. Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami.

Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjata tentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani. Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu mereka pelakunya.

“Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara itu. Wawancara lengkap saya ini diterbitkan di majalah D&R tahun 1999.

Jadi, cukuplah sudah kesimpulan saya dan cukup alasan buat saya berpendapat: film itu bukan fakta, terutama pada bagian drama penyiksaan para korban.

Bagian paling utama dari film itu, yang begitu membekas sampai meninggalkan trauma pada anak-anak yang menontonnya adalah drama penyiksaan di Lubang Buaya.

Padahal, dengan sedih saya mengingat, bagian itulah yang paling traumatis, mencekam dan membekas di benak anak-anak. Tanpa mereka tahu konteks yang melatarbelakangi peristiwa ini terjadi.

Pada tulisan saya selanjutnya, saya akan menulis bagaimana trauma itu bahkan sampai dialami oleh putera bungsu Nani Nurrachman Sutojo, Nano, yang kala menonton film itu baru berusia 8 tahun.

Ibu Nani adalah putri Jenderal Sutojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa subuh 1 Oktober 1965 itu.

Nano mengeluarkan, “What is communist, Ma? Did they kill Eyang Tojo?

Pertanyaan yang membuat ibunya terperangah dan tidak mampu menjawabnya. Ia hanya meminta waktu. Sampai Nano memahami penjelasannya.

Buku Nani Nurrachman Sutojo dan Jenderal Pranoto Reksosamodra

Pada tahun 2011 dan 2013 keterlibatan saya sebagai penyunting-penulis dua buah buku terkait Tragedi 1965, semakin menambah wawasan pikir saya tentang tragedi nasional ini, Memoar Ibu Nani Nurrachman Sutojo dan Memoar Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Kedua buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2013 dan 2014. Ketiga pengalaman menulis dengan tema 1965, tetapi dalam tiga periode waktu yang berbeda ini membuat saya sadar, betapa pentingnya menulis sejarah dari tuturan lisan, tuturan pelakunya. Bukan berasal dari pendapat satu pihak.

Baca juga: Ini Alasan Panglima TNI Perintahkan Pemutaran Film G30S/PKI

Tuturan Ibu Nani dan almarhum Jenderal Pranoto dalam bukunya, juga almarhum Prof Arief Budianto. Ibu Mitzi-Farre Tendean dan berbagai sumber tuturan para korban, saksi dan pelaku dalam Tragedi 1965 yang saat ini sangat mudah kita peroleh, seharusnya mendapat tempat cukup signifikan dalam buku-buku sejarah.

Seperti dikatakan Menteri Juwono Sudarsono ketika melarang pemutaran film ini pada tahun 1998: harus ada tambahan muatan baru dalam buku-buku sejarah sehingga penulisan ataupun karya film tentang masa itu lebih berimbang.

Sayang, imbauan beliau sampai saat ini tidak tercapai. Saya percaya, seruan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah demi kebaikan bangsa, tetapi alangkah luar biasa baiknya bila seruan menonton film ini disertai juga seruan membaca sumber-sumber sebanyak mungkin.

Sehingga, misalnya, ketika ada pertanyaan soal bagian mana dalam film itu yang docudrama (rekaan atau adegan yang diambil dari kejadian nyata) dan bagian mana yang betul-betul dokumenter, tidak menjawabnya dengan: Saya tidak tahu. Atau: Saya tidak memikirkannya.

Sekali lagi, ini cuma saran seorang penulis muda, yang lahir jauh setelah Tragedi 1965 terjadi, tetapi sangat tertarik ikut serta mempelajari dan menulis sejarah. Saya adalah bagian dari “suara yang tidak mengalami, tetapi ingin mendengar, mencari tahu dan menuliskannya”. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com