Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Darurat Demokrasi?

Kompas.com - 19/09/2017, 07:31 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Namun, kalau seorang mantan wartawan menulis pakai data lalu dilaporkan ke polisi karena statusnya yang runut dan kronologikal di status media sosial, rasanya ada yang janggal. Kenapa bukan hadir dulu tulisan dengan data yang lebih kuat untuk menangkisnya, bila memang tangkisan itu ada?

(Baca juga: Samakan Megawati dengan San Suu Kyi, Dhandy Dilaporkan ke Polisi)

Lebih janggal lagi ketika segala hal yang bertebaran di internet jadi perkara memakai UU ITE atau atas nama keamanan nasional bila idenya tak sejalan dengan selera tertentu. Susah memang buat membuktikannya, karena tak setiap orang punya kemewahan untuk memantau teknologi informasi biar bisa punya bukti.

Kalau poin di paragraf di atas susah dibuktikan, kejadian di kantor YLBHI pada Sabtu (16/9/2017) dan Minggu (17/9/2017) malam semoga bisa cukup mewakili banyak tanda tanya yang pada hari-hari ini mengemuka.

Bentrok tak terhindarkan akhirnya. Semua cuma karena ada yang mengaku mendapat kabar bahwa sebuah forum sedang mengumpulkan para pendukung paham dan partai terlarang.

Dari peristiwa ini, jadi langsung masuk akal kalau setiap penayangan rekaman dokumenter dari fakta yang dianggap berbeda langsung dibubarkan. Alih-alih, film penuh rekayasa didorong untuk ditayangkan kembali setelah hampir 20 tahun tak lagi mencuci otak para penontonnya.

Rasanya, rerangkaian tersebut menggenapi kehadiran peraturan pengganti undang-undang baru-baru ini yang rawan punya peluang dipakai memberangus segala gerakan dan organisasi yang berseberangan "keyakinan" dengan penguasa. Semua bisa dibubarkan tanpa mekanisme pengadilan lagi.

(Baca juga: Mendadak Riuh Pembubaran HTI)

Godaan kekuasaan dan perantinya selalu soal waktu saja untuk disalahgunakan, bukan? Sudah "natur"-nya, terlebih lagi bila tak setiap langkahnya berada dalam pengawasan bersama seluruh warga negara.

Ada apa dengan Indonesia dan demokrasinya? Jangan-jangan demokrasi Indonesia sudah mulai memperlihatkan gelagat memenuhi prasyarat kondisi “darurat”?

Belakangan, hoaks dituding berada di balik peristiwa di kantor YLBHI. Yang belum terjawab, tak terdengar pencabutan dorongan pemutaran lagi film hoaks dari peristiwa 52 tahun lalu.

Dalam kajian komunikasi, hoaks diakui ada dalam segala sejarah interaksi manusia. Jangankan rumor soal pendukung partai yang tak boleh disebutkan namanya, sejarah manusia sudah lengkap dengan segala pelintiran.

Satu hal yang perlu dicatat baik-baik juga, propaganda sejatinya juga nama lain dari hoaks. Jangan sampai ribut teriak-teriak anti-hoaks di mana-mana tapi masih tertelan propaganda. 

Atau, jangan-jangan selama ini kita tak sadar telah berada di barisan pasukan copy-paste atau yang dimudahkan menekan tombol "share" hoaks di media sosial? Yang mana pun, kalau begitu kejadiannya, itu masih sami mawon alias sama saja kondisinya.

(Baca juga: Protes Tere Liye dan Jalan Sunyi Literasi)

Mengenai kondisi situasi politik dan keamanan nasional, mungkin ada baiknya membaca ulang tulisan Mohammad Hatta yang pertama kali tayang pada 20 Januari 1934. Itung-itung kita mengikuti ajaran “jas merah” Soekarno alias “jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.

Pada 1934, Hatta menulis artikel berjudul “Dasar Kritik” yang dimuat di Daulat Rakyat edisi nomor 85. Di situ, Hatta langsung membuka tulisannya dengan mengatakan bahwa melahirkan kritik adalah hal mudah. Namun, kata dia, kritik yang berarti adalah kritik yang berdasar kepada keikhlasan dan keberanian untuk menanggung jawab.

Nah, bagian pentingnya, Hatta menuliskan pula pesan bagi para petarung politik yang pada satu waktu bisa menjadi bagian penguasa tetapi ada kemungkinan di lain waktu jadi oposisi. Bagian tersebut dari awal sudah dia lekatkan pula dengan idiom “demokrasi”.

Dalam demokrasi politik kaum oposisi harus senantiasa bersedia untuk menjalankan pekerjaan pemerintah yang dikritiknya, kalau pemerintah itu sampai jatuh karena kritik itu. Bangkrutnya demokrasi Barat pada waktu sekarang ialah karena kaum oposisi hanya tahu mengkritik saja dan tidak sanggup menjalankan politik sendiri.

Adakalanya karena oposisi tidak mempunyai kesanggupan dan adakalanya pula karena sebagian dari oposisi itu tidak lain maksudnya dengan mengadakan politik perlawanan (obstruksi), menolak segala perbuatan orang, sekalipun perbuatan itu ada cocok dengan kehendaknya sendiri. Dan di mana demokrasi melewati batas menjadi anarkis, di sana ia menimbulkan bibit untuk diktator....

Biar tidak kehilangan konteks, partai yang sekarang menjadi penjuru pemerintahan sejak 2014 adalah partai yang sama yang sejak era reformasi selalu menegaskan posisinya sebagai oposisi. Konteks yang sama sejatinya berlaku juga untuk semua orang dan atau kelompok, baik yang hari ini mendaku sebagai oposisi maupun barisan pendukung penguasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com