“Megawati disebut phlegmatic, the Sphinx, inscrutable, sungguh variasi penamaannya.”
~Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Historie” Indonesia, Volume 1~
UNTUNG, Rosihan Anwar lahir bukan di era media sosial besutan Mark Zuckerberg. Untung juga, sosok Rosihan mendapat tempat terhormat dalam memori Megawati Soekarnoputri dan namanya sering disebut sebagai salah satu guru jurnalistik Presiden Kelima Indonesia tersebut.
Kalau Rosihan sekadar bekas wartawan zaman sekarang yang kebetulan suka menulis status kritis berdasarkan pengalaman dan data waktu masih jadi kuli berita, mungkin dia sudah dipolisikan juga karena tulisan-tulisannya semacam kalimat di atas. Terlebih lagi dia jembrengkan juga dasar penyebutan-penyebutan itu.
Bila Rosihan cuma satu orang berusia lanjut usia biasa yang coba mengungkapkan sudut pandang tentang sebuah peristiwa besar pada masanya, mungkin forum diskusinya akan digeruduk dan dibubarkan massa. Polisi pun bisa jadi tak akan sungkan bilang acaranya belum punya izin.
(Baca: Kronologi Pengepungan Kantor YLBHI)
Bukan mustahil juga, kalau Rosihan sekadar wartawan biasa, dia akan langsung dianggap anti-Pancasila hanya gara-gara menulis buku soal Sutan Sjahrir.
Bukan rahasia kalau pemikiran “Si Bung Kecil”—panggilan Sjahrir—cenderung kekiri-kirian dalam kerangka sosialisme—yang sering dianggap sama saja dengan komunisme oleh siapa saja yang malas membaca dan bertanya.
Pertanyaannya, apakah setiap orang Indonesia harus menjadi Rosihan Anwar terlebih dahulu untuk bisa menyuarakan pendapatnya yang itu juga sudah sebisa mungkin berdasarkan data?
Atau, apakah semua orang harus punya isi pikiran seragam dan kalau perlu terindoktrinasi sempurna di bawah satu dogma untuk bisa berdiskusi dan membeberkan fakta sejarah yang pernah dijalaninya saat muda?
Buku Rosihan Anwar adalah salah satu bukti yang jelas-jelas masih ada dan beredar, bahwa sejarah terjadi bukan untuk sekadar lewat. Jangan salah, Rosihan pun menyodorkan bukti sikap kontradiktif Megawati dalam sejumlah persoalan.
Rosihan, misalnya, menyinggung dukungan Megawati dan partainya untuk pencalonan Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007.
Padahal, sebut Rosihan di tulisannya, Sutiyoso sebagai Pangdam DKI Jaya dianggap punya andil dalam penyerangan kantor PDI—sebelum ada PDI Perjuangan—di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996.
Entah karena belum ada media sosial atau karena orangnya adalah Rosihan, tak ada cerita Rosihan dipolisikan karena tulisannya ini. Penyebutan Megawati sebagai “The Sphinx”—untuk menggambarkan kediaman dan kemisteriusannya—pun merupakan pengulangan komentar yang pernah dia lontarkan pada 1999 saat diwawancara reporter sebuah televisi.
Reformasi boleh saja terus digaungkan dan dianggap telah bergulir sejak 1999. Pengaturan dan hasil pemilu bisa juga dianggap sudah jauh lebih transparan dibandingkan semasa Orde Baru. Toh, jumlah partai sekarang banyak, sudah sama meriahnya dengan Pemilu 1955 yang dulu kerap disebut sebagai pemilu paling demokratis sebelum Orde Baru berkuasa.
Namun, kalau seorang mantan wartawan menulis pakai data lalu dilaporkan ke polisi karena statusnya yang runut dan kronologikal di status media sosial, rasanya ada yang janggal. Kenapa bukan hadir dulu tulisan dengan data yang lebih kuat untuk menangkisnya, bila memang tangkisan itu ada?
(Baca juga: Samakan Megawati dengan San Suu Kyi, Dhandy Dilaporkan ke Polisi)
Lebih janggal lagi ketika segala hal yang bertebaran di internet jadi perkara memakai UU ITE atau atas nama keamanan nasional bila idenya tak sejalan dengan selera tertentu. Susah memang buat membuktikannya, karena tak setiap orang punya kemewahan untuk memantau teknologi informasi biar bisa punya bukti.
Kalau poin di paragraf di atas susah dibuktikan, kejadian di kantor YLBHI pada Sabtu (16/9/2017) dan Minggu (17/9/2017) malam semoga bisa cukup mewakili banyak tanda tanya yang pada hari-hari ini mengemuka.
Bentrok tak terhindarkan akhirnya. Semua cuma karena ada yang mengaku mendapat kabar bahwa sebuah forum sedang mengumpulkan para pendukung paham dan partai terlarang.
Dari peristiwa ini, jadi langsung masuk akal kalau setiap penayangan rekaman dokumenter dari fakta yang dianggap berbeda langsung dibubarkan. Alih-alih, film penuh rekayasa didorong untuk ditayangkan kembali setelah hampir 20 tahun tak lagi mencuci otak para penontonnya.
Rasanya, rerangkaian tersebut menggenapi kehadiran peraturan pengganti undang-undang baru-baru ini yang rawan punya peluang dipakai memberangus segala gerakan dan organisasi yang berseberangan "keyakinan" dengan penguasa. Semua bisa dibubarkan tanpa mekanisme pengadilan lagi.
(Baca juga: Mendadak Riuh Pembubaran HTI)
Godaan kekuasaan dan perantinya selalu soal waktu saja untuk disalahgunakan, bukan? Sudah "natur"-nya, terlebih lagi bila tak setiap langkahnya berada dalam pengawasan bersama seluruh warga negara.
Ada apa dengan Indonesia dan demokrasinya? Jangan-jangan demokrasi Indonesia sudah mulai memperlihatkan gelagat memenuhi prasyarat kondisi “darurat”?
Dalam kajian komunikasi, hoaks diakui ada dalam segala sejarah interaksi manusia. Jangankan rumor soal pendukung partai yang tak boleh disebutkan namanya, sejarah manusia sudah lengkap dengan segala pelintiran.
Satu hal yang perlu dicatat baik-baik juga, propaganda sejatinya juga nama lain dari hoaks. Jangan sampai ribut teriak-teriak anti-hoaks di mana-mana tapi masih tertelan propaganda.
Atau, jangan-jangan selama ini kita tak sadar telah berada di barisan pasukan copy-paste atau yang dimudahkan menekan tombol "share" hoaks di media sosial? Yang mana pun, kalau begitu kejadiannya, itu masih sami mawon alias sama saja kondisinya.
(Baca juga: Protes Tere Liye dan Jalan Sunyi Literasi)
Mengenai kondisi situasi politik dan keamanan nasional, mungkin ada baiknya membaca ulang tulisan Mohammad Hatta yang pertama kali tayang pada 20 Januari 1934. Itung-itung kita mengikuti ajaran “jas merah” Soekarno alias “jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.
Pada 1934, Hatta menulis artikel berjudul “Dasar Kritik” yang dimuat di Daulat Rakyat edisi nomor 85. Di situ, Hatta langsung membuka tulisannya dengan mengatakan bahwa melahirkan kritik adalah hal mudah. Namun, kata dia, kritik yang berarti adalah kritik yang berdasar kepada keikhlasan dan keberanian untuk menanggung jawab.
Nah, bagian pentingnya, Hatta menuliskan pula pesan bagi para petarung politik yang pada satu waktu bisa menjadi bagian penguasa tetapi ada kemungkinan di lain waktu jadi oposisi. Bagian tersebut dari awal sudah dia lekatkan pula dengan idiom “demokrasi”.
“Dalam demokrasi politik kaum oposisi harus senantiasa bersedia untuk menjalankan pekerjaan pemerintah yang dikritiknya, kalau pemerintah itu sampai jatuh karena kritik itu. Bangkrutnya demokrasi Barat pada waktu sekarang ialah karena kaum oposisi hanya tahu mengkritik saja dan tidak sanggup menjalankan politik sendiri.
Adakalanya karena oposisi tidak mempunyai kesanggupan dan adakalanya pula karena sebagian dari oposisi itu tidak lain maksudnya dengan mengadakan politik perlawanan (obstruksi), menolak segala perbuatan orang, sekalipun perbuatan itu ada cocok dengan kehendaknya sendiri. Dan di mana demokrasi melewati batas menjadi anarkis, di sana ia menimbulkan bibit untuk diktator....”
Biar tidak kehilangan konteks, partai yang sekarang menjadi penjuru pemerintahan sejak 2014 adalah partai yang sama yang sejak era reformasi selalu menegaskan posisinya sebagai oposisi. Konteks yang sama sejatinya berlaku juga untuk semua orang dan atau kelompok, baik yang hari ini mendaku sebagai oposisi maupun barisan pendukung penguasa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.