Tahun 1965 berputar lagi era baru dengan masa yang dilihat sebagai masa kebebasan dari gejala komunisme yang telah gagal dalam gerakan 1 Oktober dini hari. Masa kepemimpinan Soeharto berjalan dengan mulus karena menghadapi musuh bersama, yaitu PKI beserta antek-anteknya.
Pada kurun waktu inilah, di bawah kekuasaan mutlak yang bahkan sering dikatakan sebagai era kekuasaan militeristik yang otoriter, Indonesia kembali mengalami pembangunan fisik infrastruktur dan ekonomi yang sangat maju.
Pada sisi lain, sebagian rakyat sudah mulai lagi merasa kenyamanannya terganggu dengan pemerintahan yang sangat otoriter. Indonesia seolah memasuki lagi era "penindaasan".
Pemikiran-pemikiran maju dan gerakan-gerakan kelompok mewakili rakyat, antara lain kelompok "Petisi 50", bermunculan serta banyak tokoh-tokoh lainnya yang tampil untuk berjuang keluar dari "penindasan" itu.
Setelah berlangsung cukup lama, terjadilah fase reformasi yang banyak dianggap sebagai masa pembebasan dari kekuasaan otoriter yang sangat militeristik.
Ekses yang terjadi adalah terciptanya kroni-kroni penguasa di berbagai bidang kehidupan. Waktu dan sejarah mencatat Indonesia kembali "seolah" memperoleh kemerdekaannya lagi. Kemerdekaan dengan slogan reformasi di segala bidang.
Pada era reformasi inilah, dapat terlihat dengan sangat nyata bahwa Indonesia memasuki lagi masa kebebasan. Banyak yang mengatakan, karena begitu bebasnya orang berekspresi yang difasilitasi oleh kemerdekaan media massa yang seratus persen, maka terciptalah apa yang disebut sebagai Indonesia Sekali Merdeka, Merdeka Sekali!
Tanpa disadari, di era reformasi ini pada hakikatnya kita semua mengulang kembali era atau masa di awal kemerdekaan. Itulah masa di mana semua orang boleh membuat partai dan semua orang boleh berpendapat sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Refleksi dari sidang konstituante yang "ngalor-ngidul" tidak keruan sekarang ternyata dikerjakan lagi. Kegaduhan dan keributan berbaur dengan lebih dipacu oleh kemajuan teknologi antara lain dan terutama dengan munculnya media sosial yang sangat canggih itu.
Nah, lalu apa yang diharapkan untuk dapat menghentikan ini semua. Apakah kita harus menunggu lagi sang penindas yang baru untuk dapat mengembalikan negeri ini pada relnya yang benar dalam proses menuju cita-cita kemerdekaan?
Di tengah peradaban dunia yang sudah begitu maju dalam menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, maka yang kita tunggu dalam masa ke depan adalah semoga datang era di mana semua akan tertindas dalam arti yang positif, yaitu berada di bawah kekuasaan peraturan dan Undang-undang yang berlaku.
Yang ditunggu adalah sebuah tatanan sosial yang adil dan beradab. Tidak lagi berujud sosok seorang atau kelompok dan golongan yang otoriter yang harus menindas rakyatnya untuk dapat hidup tertib, teratur, dan beradab.
Cukup berorientasi kepada kepatuhan terhadap aturan, hukum, regulasi yang berlaku, diharapkan semua kemudian akan berjalan lancar, karena sanksi hukum terhadap pelanggaran sangat keras, berlaku adil dan menimbulkan efek jera.
Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang akan menjadi pemimpin yang mengantar ke arah kondisi tersebut. Konon kabarnya, kita semua tengah menunggu "Sang Ratu Adil" datang menjelang sebagai penyelamat bangsa di kawasan Nusantara.
Tentu saja Sang Ratu Adil yang diharapkan adalah tidak atau bukan berbentuk sebuah perppu. Perppu yang dibutuhkan sebagai senjata pamungkas pembasmi golongan yang anti-Pancasila, sekaligus yang ditakuti dapat digunakan sebagai alat sang penguasa dalam mengantar kepada era otoriter kembali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.