JAKARTA, KOMPAS.com - Panitia Khusus (pansus) hak angket KPK resmi terbentuk saat rapat paripurna, Selasa (30/5/2017) kemarin.
Sebanyak lima fraksi menempatkan perwakilan dalam pansus tersebut.
Kelima fraksi tersebut adalah Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Nasdem, Fraksi Hanura, dan Fraksi Golkar.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, terbentuknya Pansus Angket KPK tak bisa dilepaskan dari kasus korupsi e-KTP.
Sebab, wacana pembentukan Pansus muncul saat sejumlah anggota Komisi III DPR yang namanya disebut menekan anggota DPR Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani, mempertanyakan rekaman pemeriksaan Miryam kepada KPK.
Berdasarkan pengakuan penyidik KPK Novel Baswedan, sejumlah anggota Komisi III diduga menekan Miryam untuk memberi keterangan palsu saat diperiksa KPK.
Kelima nama yang disebut Novel yakni Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond Junaedi Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding.
Baca: Ini Nama-nama Wakil Rakyat yang Jadi Anggota Pansus Angket KPK
Akan tetapi, KPK bersikeras untuk tak membuka rekaman tersebut karena hanya pengadilan yang berhak memintanya.
Oleh karena itu, menurut Donal, tak ada itikad baik dari DPR dengan pembentukan Pansus Angket KPK.
"Jadi ini jelas memiliki kaitan dengan kasus e-KTP meskipun mereka beralasan ini untuk penguatan KPK, itu hanya alibi mereka saja," ujar Donal saat dihubungi, Selasa (30/5/2017).
Selain itu, Donal menyoroti mekanisme pembentukan pansus angket KPK yang dianggapnya tidak sah secara hukum karena tidak kuorum.
Ia mengatakan, berdasarkan Pasal 201 ayat 2 Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), keanggotaan pansus terdiri dari semua unsur fraksi.
Dengan demikian, menurut Donal, terbentuknya Pansus Angket KPK yang tidak terdiri dari semua unsur fraksi tidak memiliki keabsahan.
"Bahkan sedari awal persetujuan hak angket di paripurna juga cacat prosesnya, banyak fraksi yang tidak diberi kesempatan menyampaikan pandangan, jadi wajar kalau akhirnya mereka tidak mengirim wakil," ujar Donal saat dihubungi, Selasa (30/5/2017).
Baca: KPK Bakal Kaji Secara Hukum Pembentukan Pansus Angket
Donal mengatakan, karena pembentukannya cacat proses, maka KPK tak perlu hadir jika dipanggil oleh Pansus untuk dimintai keterangan.
Selain itu, Pasal 17 undang-undang tersebut mengatur informasi yang dikecualikan untuk publik.
"Jadi ada dua alasan KPK tak perlu datang bila dipanggil pansus angket KPK. Pertama mekanisme pembentukannya yang cacat hukum sehingga pansus angket KPK ini forum ilegal dan KPK tak layak datang di forum ilegal seperti itu," kata Donal.
"Kedua, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik yang tidak memperbolehkan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam," lanjut dia.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK tetap sah meski ada fraksi yang menolak mengirim perwakilan.
"Tak ada masalah, Pansus telah terbentuk, tetap berjalan," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2017).
"Kuorum itu dari yang ngirim. Mustahil itu (Pansus tidak sah), enggak mungkin hanya karena satu orang atau satu fraksi enggak setuju lalu Pansus batal. Kalau begitu nanti kinerja Dewan enggak bakal efektif dong," papar Fahri.
Ia mengatakan, dalam Pansus Angket KPK, sedianya semua fraksi wajib mengirim perwakilannya karena sudah menjadi keputusan rapat paripurna.
KPK tak campuri hak politik DPR
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, menyatakan pihaknya tak akan mencampuri hak politik DPR dalam pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK.
"Kami di KPK tidak bisa mencampuri urusan dan hak-hak di dalam kelembagaan DPR. Silakan berproses sebagaimana adanya di DPR. Kami di KPK tentunya berharap ini bukan sesuatu hal yang sangat luar biasa untuk dibicarakan di pansus," ujar Laode di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2017).
KPK akan membuat kajian hukum terkait pembentukan Pansus Angket KPK.
"Kami akan lihat dulu apakah mekanisme sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau seandainya kami melihat ada yang tidak wajar dalam pembentukannya mungkin pasti KPK akan memberi pernyataan resminya tapi bukan sekarang," ujar Laode.