JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan dua staf Kementerian Dalam Negeri dalam sidang ke-16 perkara dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Senin (22/5/2017).
Keduanya dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto.
Saksi yang diperiksa yakni Kasubag Perbendaharaan Sesditjen Dukcapil Kemendagri, Junaidi, dan panitia pemeriksa dan penerimaan barang Kemendagri, Endah Lestari.
Pernyataan kedua saksi menunjukkan bahwa ada keganjilan dalam proses pengadaan e-KTP, bahkan hingga ke lembar pertanggungjawabannya.
Selain dua staf Kemendagri, JPU juga menghadirkan lima saksi lainnya, yaitu dua teman Andi Agustinus alias Andi Naroging bernama Ferry Haryanto dan Melyanawati.
Lalu, Amilia Kusumawardani Adya Ratman dari PT Biomorf Lone Indonesia, Willy Nusantara Najoan dari PT Quadra Solutions, serta Nadjamudin Abror dari PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo).
Berikut ringkasan keterangan yang memberatkan terdakwa kasus e-KTP yang terungkap dalam sidang:
Anak buah disuruh bikin SPJ Fiktif
Junaidi mengaku pernah membuat surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif dalam pembukuan anggaran proyek e-KTP atas perintah Sugiharto.
Hal tersebut dikarenakan Sugiharto, belum mengembalikan uang pagu untuk perjalanan tim supervisi sebesar Rp 2,5 miliar yang dia pinjam dari anggaran proyek e-KTP.
Menurut Junaidi, Sugiharto saat itu menyatakan bahwa uang tersebut untuk kebutuhan Irman. Namun, ia tidak mengetahui untuk apa uang itu.
(Baca: Ada SPJ Fiktif Senilai Rp 2,5 Miliar dalam Pembukuan Proyek E-KTP)
Hingga menjelang tutup buku, uang tersebut tidak juga dikembalikan Sugiharto.
Akhirnya, Junaidi bersama staf Dukcapil lain membuat SPJ fiktif di laporan mereka. Pengeluaran tersebut dibuat seolah-olah pengeluaran untuk tim supervisi yang melakukan perekaman data di lapangan.
"SPJ-nya berupa tiket, bill hotel, itu yang dibelanjakan. Saya dapatkan dari tim supervisi yang di daerah," kata Junaidi.
Anak buah disuruh bakar dokumen
Junaidi mengaku disuruh Sugiharto membakar sejumlah dokumen berkaitan dengan catatan pemasukan dan pengeluaran.
Hal itu dilakukan setelah KPK mengendus adanya dugaan korupsi pengadaan e-KTP di Kemendagri.
"Pak Gi (Sugiharto) yang minta semua catatan itu dibuang atau dimusnahkan," kata Junaidi.
Sugiharto, kata Junaidi, mengaku juga diperintahkan oleh Irman untuk membakar dokumen.
(Baca: Staf Dukcapil Diperintahkan Bakar Dokumen Setelah KPK Usut Kasus E-KTP)
Perintah itu dilakukan antara sebelum atau sesudah penggeledahan di Kemendagri oleh KPK.
Dokumen yang dimaksud antara lain catatan surat pertanggungjawaban fiktif yang dibuat Junaidi untuk menutupi uang Rp 2,5 miliar yang dipinjam Sugiharto.
Namun, ia mengaku tak mengetahui mengapa catatan tersebut harus dimusnahkan.
"Saya buang di tempat sampah, ada yang saya bakar juga," kata Junaidi.
Junaidi mengatakan, catatan yang dibakar tersebut merupakan data di luar dana pagu.
Selaku bendahara, Junaidi mengelola dana pagu untuk kepentingan perekaman e-KTP oleh tim supervisi di daerah.
Anak buah diminta cari pinjaman
Junaidi mengaku pernah diminta Irman untuk mencari pinjaman uang dalam waktu singkat.
Hari itu juga dia harus mendapatkan pinjaman uang, namun tidak disebutkan berapa jumlahnya.
Menurut Junaidi, dia kerap diminta mencari pinjaman untuk membayar tim supervisi yang melakukan perekaman data di daerah.
(Baca: Terdakwa e-KTP Minta Uang, Anak Buah Sampai Harus Gadai BPKB Mobil)
Karena butuh pinjaman dalam waktu singkat, Junaidi akhirnya menggadaikan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) miliknya untuk memenuhi permintaan Irman.
Ia menggadaikan BPKB mobil ke Bambang, rekan sesama bendahara sebesar Rp 100 juta.
Namun, hingga saat ini, uang Junaidi belum dikembalikan oleh Irman satu rupiahpun.
Junaidi selama ini menyicil sendiri Rp 100 juta itu ditambah bunga untuk menebus BPKB mobilnya. "Sampai sekarang masih kurang Rp 10 juta lagi," kata Junaidi.
Anak buah Diminta bohong ke penyidik KPK
Endah Lestari mengaku disuruh Sugiharto memanipulasi data jumlah pengadaan e-KTP di berita acara serah terima barang.
Jumlah e-KTP yang harus dikerjakan sebesar 145 juta keping. Pada kenyataannya, hanya 122 juta keping e-KTP yang baru jadi.
(Baca: Jujur kepada Penyidik, Staf Kemendagri Malah Dimarahi Terdakwa Kasus E-KTP)
Endah juga menyampaikan kepada Sugiharto bahwa prestasi konsorsium PNRI sebagai pelaksana masih jauh dari target.
Namun, Sugiharto memaksa agar dibuat seolah proyek sudah jadi sepenuhnya.
"Pekerjaan belum 100 persen tapi disuruh bikin sudah 145 juta," kata Endah.
Tak hanya itu, Endah juga diminta berbohong di hadapan penyidik KPK mengenai jumlah e-KTP yang dikerjakan.
Sejak penyelidikan e-KTP dimulai, Endah diwanti-wanti untuk mengaku bahwa target 100 persen tercapai.
Namun, Endah tak bisa berbohong di hadapan penyidik karena diambil sumpah. Akhirnya ia mengatakan yang sebenarnya bahwa baru 122 juta keping e-KTP yang jadi.
Begitu mengetahui Endah jujur di hadapan penyidik, mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman, berang.
Banyak keganjilan
Junaidi mengakui bahwa keuangan di Ditjen Dukcapil untuk penganggaran e-KTP banyak keganjilan.
Salah satunya, ada temuan Badan Pemeriksaan Keuangan soal pengadaan blanko e-KTP. Menurut dia, semestinya dalam pengadaan blanko setiap termin, harus melampirkan berita acara serah terima (BAST).
Namun, Irman memintanya mencairkan dana, padahal BAST dari daerah belum lengkap. Junaidi pernah dipanggil ke ruangan Irman dan diminta memproses tagihan konsorsium PNRI dalam dua hari.
Padahal, dokumen BAST belum lengkap sehingga tidak bisa dilakukan pencairan. "Karena pak Sugiharto selaku PPK meminta jaminan itu," kata dia.