Tertipu agen
Lulus SMK, Heni masih semangat mengejar mimpinya menjadi seorang guru. Namun, kondisi ekonomi makin sulit. Ibu dan neneknya sudah semakin tua.
Ibunya tak bisa lagi bekerja di luar daerah dan kembali ke Ciamis. Di sisi lain, rumah yang ia tinggali juga semakin memprihatinkan.
"Waktu itu aku sudah buntu. Yang aku pikirkan, aku ingin kuliah jadi guru. Tetapi melihat kondisi rumah saja sudah mau roboh, boro-boro buat nyekolahin aku," katanya.
Akhirnya, ia mencari informasi dari tetangga yang pernah bekerja di luar negeri. Dari situ, Heni memantapkan diri untuk hijrah ke Hongkong usai pelatihan tiga bulan di balai latihan kerja Tangerang, Banten.
Namun, Heni memastikan sekali lagi, menjadi TKI bukanlah tujuannya, tetapi hanya sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita yang lebih besar.
"Sebenarnya takut pergi ke Hongkong. Berangkat seorang diri, tanpa handphone, tanpa uang sepeserpun, tanpa orang yang aku kenal. Tetapi, aku berpikir, masa depan akan jauh lebih menakutkan ketika aku tetap berdiam diri di kampung halaman aku," katanya.
Heni pada akhirnya berangkat juga ke Hongkong. Ternyata, PJTKI yang menjadi penyalurnya tidak beres.
Data diri Heni yang kelahiran 1987 dituakan menjadi 1982. Selain itu, setibanya di bandara, seluruh buku petunjuk yang dibagikan pada calon TKI, dibuang.
Permasalahan underpayment dan overcharge juga dirasakan Heni. Gaji dalam kontrak yang seharusnya 3.200 HKD, hanya diterimanya sekitar 1.800 HKD atau setara Rp 3 jutaan (kurs Rp 1.700 per HKD).
Selain itu, potongan gaji melebihi kesepakatan. Selama tujuh bulan gaji Heni dipotong oleh PJTKI. Hingga selama masa potongan gaji itu, gaji yang ia terima hanya 200-300 HKD.
Pada tahun pertama, Heni juga tidak bisa mengambil hak libur, pun ketika hari Minggu ataupun tanggal merah.
Kalau sampai libur, maka gajinya akan dipotong lagi 100 HKD.
Kesusahannya sebagai seorang TKI tak berhenti hanya sampai urusan dengan agen nakal.
Majikan pertama Heni yang mengontraknya selama dua tahun, sangat merendahkan profesi asisten rumah tangga.
Ceritanya waktu itu, Heni yang memang suka membaca, tengah membaca sebuah buku.
"Dia sampai ngomel-ngomel. 'Eh, kamu lagi ngapain di sini? Kamu lagi baca buku, ya? Kalau pembantu itu enggak usah lah bisa baca buku. Pembantu itu yang penting kamu bisa jaga anak, bisa masak, bisa bersihin rumah, selesai'. Begitu majikan aku bilang dengan nada sinis," kata Heni.
Setelah setahun, yang artinya sudah bisa mengambil libur pada akhir pekan, Heni mengisi liburannya dengan pergi ke perpustakaan dan kuliah D3 jurusan IT tanpa sepengetahuan majikannya.
Heni tak membayangkan apa yang akan terjadi jika majikannya tahu ia kuliah. Beruntung, majikan kedua yang mengontraknya selama empat tahun cukup baik.
Heni kala itu juga melanjutkan studi di Saint Mary's University jurusan manajemen wirausaha. Heni akhirnya berhasil menuntaskan studi S1-nya selama 3,5 tahun.
Untuk membiayai kuliahnya, Heni menjadi kontributor di banyak koran Hongkong dan Taiwan yang berbahasa Indonesia.
Ia juga sering mengikuti lomba penulisan. Dari situ uangnya cukup untuk membiayai biaya kuliah.
Sementara sebagian besar gajinya dikirimkan pada ibu dan neneknya di Ciamis.