Pasal 2 PNPS yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a KUHP menyatakan, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 (melakukan penafsiran tentang sesuatu agama) diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Namun, mekanisme tersebut jarang ditempuh, terutama jika ada tekanan massa yang begitu besar.
"Seharusnya ada proses pemberian peringatan. Judul dari PNPS itu saja sudah pencegahan," ujar Ismail.
Tekanan massa
Jika dilihat dari aspek penegakan hukum, praktik penyelesaian kasus penodaan agama umumnya tidak berjalan sesuai asas keadilan. Hasil riset Setara Institute berjudul "Rezim Penodaan Agama 1965-2017" menunjukkan adanya penerapan standar ganda.
Hal itu menjadi indikasi masih lemahnya mekanisme penegakan hukum terkait kasus penodaan agama.
Ismail Hasani menilai bahwa saat ini mekanisme penegakan hukum kasus penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP sangat lemah. Sebab, sebagian besar penyelesaian kasus penodaan agama tidak lepas dari adanya tekanan massa atau trial by mob.
"Memang ada kelemahan dalam sistem penegakan hukumnya. Sebagai sebuah delik aduan pasal tersebut (Pasal 156 a KUHP) tidak steril," tutur Ismail.
Ismail memaparkan, berdasarkan hasil riset Setara Institute, tercatat ada 97 kasus penodaan agama yang terjadi dalam kurun waktu 1965 hingga 2017.
Dari jumlah tersebut, 76 kasus diselesaikan melalui proses persidangan dan 21 kasus diselesaikan di luar persidangan.
Setelah diteliti lebih jauh, lanjut Ismail, sebanyak 62 kasus selesai karena adanya tekanan massa. Sementara 35 kasus selesai tanpa adanya tekanan massa.
Dari 35 kasus yang diproses tanpa adanya tekanan massa, Setara Institute menemukan ada 14 kasus yang diselesaikan melalui jalur non yustisia.
Namun, menurut Halili, mekanisme penyelesaian melalui jalur mediasi dan rekonsiliasi bisa dilakukan jika tekanan massa tidak begitu banyak. Dia mencontohkan kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok membuktikan hal itu.
Mekanisme pemberian peringatan atau pun pemberian maaf tidak dilakukan sebelum kasus tersebut masuk ke tahap penyelidikan oleh kepolisian.
"Mekanisme mediasi, permintaan maaf atau bahkan pemberian maaf itu kan sebenarnya dimungkinkan. Tanpa tekanan massa, hal itu dimungkinkan," ujar Halili.
(Baca juga: Setara Institute Temukan Standar Ganda dalam Penuntasan Kasus Penodaan Agama)