Mengancam kebebasan berserikat
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman berpendapat, pemerintah perlu menahan diri dan berhati-hati terkait rencana pembubaran HTI.
Hal tersebut diperlukan agar pemerintah tidak mengambil langkah-langkah represif yang dapat mengancam penikmatan hak atas kebebasan berserikat di Indonesia, dalam kerangka demokrasi.
"Jika langkah semacam ini dilakukan secara gegabah, justru dapat mengancam jaminan penikmatan hak atas kebebasan berserikat (right to a freedom of association)," ujar Wahyu melalui keterangan tertulisnya, Senin (8/5/2017).
Wahyu menuturkan, meskipun kebebasan berserikat merupakan salah satu hak yang dapat dibatasi, namun sebagian ahli berpendapat bahwa bentuk-bentuk pembubaran merupakan bentuk pembatasan yang paling kejam, sehingga harus ditempatkan sebagai upaya terakhir (last resort).
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), lanjut Wahyu, menyatakan kebebasan berserikat adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), sepanjang hal itu diatur oleh undang-undang (prescribed by law).
Hal itu diperlukan dalam masyarakat yang demokratis, demi kepentingan keamanan nasional atau keamanan publik, ketertiban umum (public order), perlindungan akan kesehatan atau moral publik, atau atas dasar perlindungan akan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Selain itu, tindakan pembubaran juga harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law sebagai pilar dari negara hukum, di mana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya.
"Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan HTI) harus didengar keterangannya secara berimbang, serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi," tutur Wahyu.
Selain itu, Wahyu juga memaparkan bahwa tindakan pembubaran melalui pengadilan hanya bisa ditempuh setelah seluruh upaya lain dilakukan, mulai dari peringatan (notification), penghentian kegiatan, sanksi administratif, hingga pembekuan sementara.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 60 hingga Pasal 78 Undang-Undang Ormas.
"Artinya, pemerintah tidak memiliki hak absolut untuk melakukan pembubaran suatu organisasi, dengan dasar alasan apapun," ucapnya.
Secara terpisah Wakil Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, jika mengacu pada ICCPR, dimungkinkan adanya suatu pembatasan atau pengurangan atas berbagai kategori hak asasi.
Namun, hal tersebut harus dilakukan secara situasional dan bersyarat.
(Baca juga: Pemerintah Didesak Jelaskan Bukti HTI Anti-Pancasila)
Menurut Puri, perspektif HAM membolehkan suatu pemenuhan HAM dikompromikan dengan urusan lain, seperti masalah gangguan keamanan dalam skala besar, gangguan terhadap "public order" atau ketertiban masyarakat, gangguan serius terhadap kesehatan dan keselamatan publik, serta masalah bencana alam.
"Sejauh prasyarat dasar tujuan masyarakat demokratis dijunjung," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.