JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) mengatakan, hak angket bisa berujung pada dijatuhkannya pemerintahan. Sebab, ujung pangkal hak angket adalah menyatakan pendapat kepada Presiden.
"(Ujungnya) menyatakan pendapat, bisa jatuh pemerintah," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2017), menyikapi hak angket DPR terhadap KPK.
Oleh karena itu, ia mengaku heran banyak partai pendukung yang justru mendukung hak angket tersebut.
(baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)
Padahal, KPK sedang berusaha membongkar sejumlah kasus besar yang juga membutuhkan dukungan dari Pemerintah dan parlemen.
Salah satunya adalah kasus korupsi Bantuan Likuidias Bank Indonesia (BLBI).
"KPK sedang tugas yang begitu penting, justru sekecil apapun gangguan jangan," tutur Ketua MPR RI itu.
"Katanya (angketnya) soal rekaman. Tapi kalau rekaman saja masa diangket, sih," kata dia.
(baca: Ini Daftar 26 Anggota DPR Pengusul Hak Angket KPK)
Namun, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah sebagai salah satu pengusul hak angket membantah jika hak angket KPK bisa berujung pada penggulingan pemerintahan.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo seharusnya juga melihat sisi positif dari hak angket tersebut sebagai masukan terhadap satu lembaga yang menjadi tanggungjawab kepala negara.
"Enggak lah (penggulingan pemerintahan). Pak Jokowi tinggal 700 hari masa mau dijatuhkan," tutur Fahri.
(baca: Mahfud MD Minta KPK Tak Gubris Hak Angket DPR)
Adapun saat ditanyakan mengenai rekomendasi hak angket yang mengikat, Fahri mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa rekomendasi rapat-rapat komisi bersifat mengikat.
Namun secara etika, kata dia, seharusnya rekomendasi angket bisa lebih tinggi dan lebih diperhatikan.
"Kalau ada yang tidak mau menggunakan (rekomendasi) lalu DPR bersepakat menggunakan hak-hak lain itu politik. Banyak (hak-hak lain), termasuk hak menyampaikan pendapat, dan lain-lain," kata dia.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.
Dalam Rapat Paripurna pada Jumat lalu, Taufiqulhadi selaku perwakilan pengusul menyampaikan sejumlah latar belakang pengusulan hak angket itu.
Salah satunya terkait tata kelola anggaran, misalnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan KPK Tahun 2015 tercatat 7 indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Selain itu, terkait tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi, yakni terjadinya "kebocoran" dokumen dalam proses hukum seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan surat cegah tangkal (cekal), serta beberapa temuan lainnya yang akan didalami dalam pelaksanaan hak angket nanti.
Setelah disahkan, DPR langsung dikritik berbagai pihak. Elite parpol belakangan bersikap menolak penggunaan hak angket tersebut.