Kalah menang dalam pemilu bukanlah akhir dari segalanya seperti dalam perang. Sebab, pemilu tak lebih hanyalah sarana untuk menghitung jumlah pendukung atau pemilih bagi masing-masing kontestan. Seusai pemilu, kehidupan akan kembali seperti sebelumnya.
Munculnya sedikit ketegangan sosial dan bahkan kekhawatiran serta rasa waswas akan terjadi kerusuhan sosial menjelang Pilkada DKI sama sekali bukan karena rakyat Jakarta belum siap berdemokrasi.
Akan tetapi, lebih karena kepentingan kelompok tertentu yang menunggangi agenda Pilkada DKI.
Ditilik dari agenda yang mereka gulirkan dan tokoh yang terlibat dalam upaya memanaskan suhu politik Jakarta tidak lepas dari rekayasa sosial untuk memunculkan kerusuhan sosial dengan target optimal jatuhnya pemerintahan Jokowi.
Karena hanya cara itulah, mereka bisa selamat dan lepas dari pertanggungjawaban hukum atas kejahatannya di masa lalu.
Kelompok lain yang berkepentingan adalah mereka yang hendak mengembangkan paham ”kilafah” untuk pada saatnya kelak mengganti dasar negara Pancasila.
Sinergi dua kepentingan menjadi efektif karena isu yang dikembangkan menyangkut keyakinan agama dan sentimen etnis yang terkait dengan kesenjangan yang begitu menganga yang nyata dan benar adanya.
Berebut menjadi pelayan rakyat
Pilkada DKI telah usai. Sepatutnya kita mengucapkan selamat kepada penduduk DKI yang telah berhasil memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan.
Kepada gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih, kita ucapkan selamat bekerja, semoga saja kelak tidak ingkar terhadap kontrak sosial yang telah disampaikan dalam kampanye lalu.
Dalam demokrasi, para pejabat pemerintah sudah barang tentu mendapat upah dengan sebutan gaji atau upah dan juga fasilitas seperti kendaraan dan perumahan.
Kita juga tahu, di mana pun mereka yang menerima upah disebut pegawai, buruh, karyawan, atau panggilan lainnya yang tugasnya melayani majikan. Sebaliknya, mereka yang membayar upah disebut sebagai majikan, juragan, atau bos.
Dan, karena uang yang digunakan untuk membayar upah tersebut adalah dari pajak rakyat, maka di negara demokrasi rakyat diposisikan sebagaimana layaknya majikan.
Mereka dihargai atau dihormati oleh para pelayannya, tak peduli sebutan mereka adalah lurah, bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, atau presiden sekalipun.
Kesadaran bahwa dirinya tak lebih adalah pelayan rakyat bagi segenap pejabat negara, terutama bagi gubernur dan wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, menjadi utama agar ke depan tidak ada lagi perlakuan kasar apalagi tidak senonoh oleh sang pelayan terhadap majikannya, yaitu rakyat, siapa pun ia.