JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik LIPI Siti Zuhro menilai, nilai-nilai keaslian Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga representasi daerah hilang.
Hal itu menyusul terpilihnya Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD, Selasa (4/4/2017) dini hari.
Ia mengatakan, ketika DPD lahir pada 1 Oktorber 2004, semangat awalnya adalah menghapuskan utusan golongan dan utusan daerah dari DPR.
(baca: "Ribut Bukan untuk Kepentingan Publik, DPD Wajib Minta Maaf ke Rakyat")
Sebagai gantinya, dibentuk lah DPD sebagai representasi perwakilan daerah yang bersifat personal, bukan dari partai politik.
Ada pun yang menjadi tugas DPD, yakni merawat NKRI dalam konteks kedaerahan, seperti bagaimana mengelola sumber daya alam, mengawasi jalannya otonomi daerah, serta merawat hubungan pusat dan daerah.
Seluruh tugas tersebut telah diatur secara eksplisit di dalam Pasal 22D UUD 1945.
(baca: Drama DPD "Ribut" Urusan Kursi Pimpinan...)
"Tetapi, bagaimana merawat NKRI, kalau mereka saja tidak bisa merawat internal mereka? Kalau originalitas atau suasana kebhatinan mereka sudah tidak mengilustrasikan kembali, menurut saya sayang sekali. Untuk apa kita punya DPD?" tutur Siti saat dihubungi Kompas.com.
Meski tugas dan wewenang DPD telah diatur, ia menambahkan, para anggota di lembaga tersebut lebih sibuk meributkan posisi kursi pimpinan dari pada bekerja untuk kemajuan daerah perwakilan mereka masing-masing.
"Dan kalau sekarang bermetamorfosis seperti DPR (karena dipimpin Ketum Parpol), so what? What the point?" kata dia.
(baca: "Perilaku DPD Persis seperti Kanak-kanak")
Rapat paripurna DPD yang berakhir pada Selasa (4/4/2017) dini hari, menetapkan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD, dengan dua wakilnya, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.
Dengan jabatan baru ini, Oesman, yang juga Ketua Umum Partai Hanura, memegang dua jabatan dalam lembaga legislatif.
Selain Ketua DPD, Oesman masih menjabat Wakil Ketua MPR RI.