(Baca: Rapat Panmus DPD Alot, Muncul Usulan Konsultasi ke MA)
Jalan tengah pun diambil. Paripurna tetap dilaksanakan pada masa reses DPD ini.
Namun, hanya dengan satu agenda, yakni membacakan putusan MA.
"Tadi daripada ngotot, ya sudah lah karena sudah diagendakan, anggota sudah kumpul semua di Jakarta, dilaksanakan saja. Yang satu pihak usulkan pemilihan pimpinan, oh enggak bisa. Karena ada putusan MA. Jadi ya sudah, menyampaikan putusan MA," kata dia.
Namun, tak menutup kemungkinan tetap ada dorongan yang kuat untuk melakukan pemilihan pimpinan.
Menurut Farouk, hal itu akan melanggar putusan MA.
Ia yakin MA tak akan melantik jika pemilihan pimpinan baru tetap dilakukan karena bertentangan dengan putusan MA.
"Arahnya pasti mereka (kubu kontra) akan dorong pemilihan. Kan mereka jago untuk yang begitu-begitu," ujar Senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Sementara itu, Anggota DPD asal Jawa Tengah, Akhmad Muqowam yakin pemilihan tetap dapat dilakukan.
Kemungkinan untuk memilih pimpinan baru masih sangat terbuka. Hal itu, menurut dia, akan diputuskan oleh peserta rapat paripurna.
"Konsekuensi, risiko apapun yang disampaikan paripurna terhadap putusan MA Itu harus dilaksanakan. Termasuk implikasinya pergantian pimpinan. Ya tidak ada persoalan," ujar Muqowam.
Adapun, Anggota DPD dari Maluku, Anna Latuconsina, yang juga sebagai pemohon uji materi ke MA, menegaskan, pemilihan pimpinan melanggar putusan MA.
Putusan MA dinilainya final dan mengikat.
Masa jabatan 2,5 tahun tidak sah karena dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disebutkan bahwa masa jabatan pimpinan legislatif, dari kabupaten/kota, provinsi, hingga DPD RI sesuai periodesasi pemilu yakni 5 tahun.
"Yang terpeting, masa jabatan pimpinan tidak diatur di tatib, tapi tata cara pemilihan boleh diatur dalam tatib," kata Anna.