JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra menilai, kondisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini memprihatinkan.
DPD yang semestinya menjalankan fungsi perwakilan daerah justru terjebak pada konflik internal.
Hal itu, kata Saldi, diperparah dengan intervensi partai politik di DPD dengan berbondong-bondongnya sebagian anggota DPD menjadi kader Partai Hanura.
Padahal, menurut Saldi, fungsi perwakilan yang dihadirkan DPD bukanlah merepresentasikan parpol, tetapi wilayah, sehingga mampu menghasilkan perspektif nasional dalam membangun Indonesia.
"Yang memprihatinkan sekarang kondisi internal DPD. Kewenangannya terbatas tapi internalnya cakar-cakaran. Ini bahaya buat DPD dan akhirnya orang juga kecewa," kata Saldi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Hal itu, kata Saldi, terlihat dari upaya DPD yang yang telah mempolitisasi masa jabatan Pimpinan DPD dari 5 tahun sekali menjadi 2,5 tahun.
Saldi menilai, perubahan tersebut memang tidak dilarang dalam undang-undang, namun tidak lazim bagi sebuah lembaga tinggi negara.
Sebab, biasanya jabatan speaker house itu mengikuti periode pemilu, yakni 5 tahun sekali.
Namun, di tengah periode kerja DPD, mendadak mereka mengganti aturan tersebut dan langsung diberlakukan di periode sekarang.
"Jadi mereka susun tatib (tata tertib) jadiin 2,5 tahun dan diberlakukan surut di periode ini juga. Itu kan gak lazim. Kenapa tiba-tiba diberlakukan surut? Kalau kita mau bilang itu enggak ada conflic of interest kan susah," ujar Saldi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.