oleh: F Budi Hardiman
Filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant, pernah memberi nasihat tentang perkawinan. ”Orang,” begitu tulisnya, ”mengenyangkan nafsu tidak lewat cinta, tetapi lewat perkawinan”. Seberapa privat pun, nasihat itu menyingkap sesuatu yang politis. Politik tidak beroperasi dengan cinta, tetapi dengan kuasa.
Seperti seks, kuasa adalah juga nafsu yang tidak berbentuk dan liar jika tidak didisiplinkan. Lembaga kuasa adalah hukum, seperti juga perkawinan yang dalam pengertian yang paling kasar adalah pendisiplinan seks. Dalam pagar kelembagaan keduanya menjadi lebih rasional, disiplin, dan dimuliakan ke taraf peradaban.
Populisme dan pendulum sejarah
Rasionalisasi kuasa dalam sistem hukum, seperti juga rasionalisasi seks dalam perkawinan, dilaksanakan dengan pengendalian diri yang penuh susah payah, tidak jarang berakhir dengan kegagalan.
Nafsu bisa lebih besar daripada kerangkengnya. Susah payah ini tampak jelas dalam lanskap politik kontemporer ketika akhir-akhir ini populisme kanan bangkit di beberapa negara demokratis, termasuk di Indonesia. Para pemimpin mereka membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian kepada para imigran, minoritas, bahkan kepada otoritas yang sah.
Media sosial membuat seduksi politis ini menjadi viral dan massa dengan kepala penuh prasangka siap dikerahkan untuk mendestabilisasi negara.
Entah itu partai, seperti Front National, Lega Nord, Vlaam Belang, FPÖ, atau ormas, seperti Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes (PEGIDA) dan ormas tertentu di Indonesia, dengan keragaman ideologi adalah kekuatan-kekuatan konservatif yang oportunis di negeri mereka masing-masing.
Kesulitan dengan populisme adalah hubungannya dengan demokrasi. Keduanya melibatkan populus atau rakyat, tetapi kata itu dipahami berbeda. Sementara dalam demokrasi, rakyat itu adalah para warga negara, pekerja, asosiasi-asosiasi, partai-partai, dan seterusnya atau demos, rakyat dalam populisme adalah ”massa yang tidak terdiferensiasi”.
Kerumunan ini bersuara atas nama demokrasi, tetapi sesungguhnya tujuan populis tidak pernah demokratis karena sebuah politik sentimental condong menerjang batas-batas negara hukum. Populisme bimbang antara demokrasi perwakilan dan demokrasi plebisit. Pada ambiguitas inilah letak masalahnya: antara populisme dan demokrasi ada intimitas sekaligus pengkhianatan.
Para populis kanan marah terhadap demokrasi liberal, para elite yang berkuasa dan globalisasi. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, globalisasi dituduh memperlemah kedaulatan negara dan dianggap biang keladi problem terorisme dan pengungsian. Intonasi nasionalistis proteksionistis yang sangat tinggi dalam pidato pelantikan Donald Trump mewakili sikap populis kanan di mana-mana dewasa ini.
Alih-alih universalisme nilai-nilai, mereka membela partikularisme dengan paranoia terhadap pluralisme. Sementara di Eropa dan Amerika Serikat terjadi penguatan nasionalisme, di Indonesia menyempit pada konservatisme Islam. Sentimen agama dan ras merupakan alat seduksi favorit bagi para populis kanan untuk pengerahan massa.
Bagaimana memaknai kebangkitan populisme kanan dalam politik global? Mengingat penguatan populisme, entah sebagai gerakan atau partai, yang terjadi di banyak negara, boleh jadi gelombang globalisasi saat ini mulai dibendung dengan tameng- tameng partikularisasi.
Meminjam analisis Hermann Broch, pendulum sejarah sedang berayun dari globalisasi ke partikularisasi, dari kosmopolitanisme ke regionalisme dan nasionalisme atau bahkan sektarianisme. Jika demikian, radikalisme Islam pada gilirannya telah merangsang syahwat para pemuja eksklusivisme yang dapat mengantar politik global ke ambang era populisme kanan.
Menerjang prosedur