Kecenderungan para politisi mengiba dan mendulang simpati publik, kini jadi kebiasaan yang umum diketahui rakyat Indonesia.
Simak saja bagaimana pentolan ormas yang getol menyemprot pihak lain dengan label berjela-jela. Giliran ia diadukan beberapa pihak yang dirugikan lantaran ulahnya sendiri, ia melipir dan cari perlindungan di bawah payung agama.
Bahkan ia secara terang menolak diperiksa lantaran merasa difitnah. Sikap ini jelas menunjukkan itikad yang tidak baik sebagai seorang warga negara sah Republik Indonesia.
Kebanalan Informasi
Pencapaian tertinggi teknologi komunikasi manusia pada abad ke-21 memang mencengangkan. Peradaban manusia sontak beralih ke dunia antah berantah yang tak terbayangkan. Semua lini kehidupan kita ikut bergerak tak terduga lantaran terimbas dan terpapar internet. Cara kita berdialog, praktis memasuki arena yang belum pernah ada presedennya.
Kegelisahan purba umat manusia yang ingin mencari jawaban dari kehadirannya di dunia ini, terjawab sudah dengan kehadiran media sosial yang ditelurkan internet. Maka mencuatlah tabiat dasar manusia yang selama ribuan tahun terpendam begitu dalam. Narsistik.
Lantas muncullah segolongan manusia baru yang gemar mematut diri dalam semua akun media sosial yang mereka miliki. Seolah di dalam akun itulah hidupnya menemukan ruang mengada.
Segelitir saja dari para pengguna medsos—bahkan dalam tingkat global, sadar bahwa akun yang ia miliki sama dengan data valid dirinya yang kemudian diolah dengan sistem algoritma tingkat tinggi.
Data inilah yang kemudian dijadikan pedoman utama dunia intelijen guna memantau perkembangan peradaban terkini dan bagaimana menentukan arahnya kemudian.
Sidang pembaca sekalian mungkin masih ingat bagaimana Muhammed Bouazizi, penjual sayur warga Tunisia yang membakar diri dan kemudian diunggah ke medsos oleh sepupunya. Alhasil, pemerintahan sah di sana tumbang.
Lepas dari nilai manfaat medsos dalam kasus ini, nyatanya dalam kasus berbeda terjadi hal yang ujungnya sama. Dataran Timur Tengah membara dibakar perang saudara.
Sekelompok orang nun di "sana," menjadikan Bouazizi sebagai pendulum penghancuran negara monarki anti-Barat. Lalu hadirlah Amerika yang agung itu dengan demokrasi, dibalik kerudung Musim Semi Arab.
Sayang, sedikit sekali yang paham betapa pola seperti itu sudah terjadi berulang kali. Bedanya, dulu Amerika harus bersusah payah menggunakan kemampuan terbaik mereka. Kini ceritanya berbeda.
Hoax yang adalah bagian integral dari teori konspirasi, digunakan secara sadar oleh mereka yang berambisi menguasai dunia, untuk merusak tatatan yang selama ribuan tahun bertahan mendampingi manusia.
Bangsa Indonesia yang masyarakatnya gemar mengobrolkan apa saja, mudah sekali tersulut berita tipu yang sering menggelinding di media sosial sekelas Facebook.