Zuckerberg bukan tak tahu ini. Ia jelas mafhum. Namun kenapa ia hanya mendatangi Tiongkok dan India dan meminta maaf atas kekeliruan perusahaannya? Kenapa ia tak ke Indonesia? Agenda apa yang sejatinya sedang ia emban?
Zuckerberg jelas tahu potensi besar bangsa Indonesia. Ia juga mengamati betapa bangsa ini kesulitan membedakan mana informasi dan data.
Pada kenyataannya, informasi-data beraduk sedemikian rupa hingga kabur tak jelas rimbanya.
Momen pilkada Jakarta yang sedang hangat bisa dijadikan tolok ukur menilai persoalan ini. Partai yang menjagokan kadernya sebagai calon gubernur, tak perlu kesulitan mencari karya apa yang sudah dihasilkan oleh kader bersangkutan.
Cukup dengan memviralkan berita miring, dan mencari kesalahan gubernur petahana, maka panggung pun jadi semarak. Publik tak perlu tahu bahwa karya dan kerja nyata bukan lagi soal utama.
Fenomena itu berbeda tegas dengan apa yang lazim dilakukan para tokoh pendiri republik ini. Sukarno menulis Indonesia Menggugat yang menggemparkan dunia demi membela dirinya. Hatta tak kalah taji.
Dari dalam tahanannya yang sesak di Belanda, ia menulis Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) pada 1927. Itulah pidato pembelaannya yang monumental di hadapan pengadilan. Ia membacakannya selama tiga setengah jam.
Demokrasi dapat berjalan dengan baik, menurut Bung Hatta, “Jika ada tanggung jawab dan tenggang rasa di kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, perkembangan politik yag berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berujung main hakim sendiri, membuka jalan bagi lawannya: diktator.”
Kini tengoklah yang terjadi. Tak satu pun pemimpin partai atau pejabat kenegaraan yang mau bertungkus lumus menulis karyanya.
Mereka tak lagi berpolemik di media massa dengan tulisan bernas. Kecuali sibuk menerbitkan buku pseudo biografi yang tujuannya jelas demi memulas citra.
Mereka lebih senang menenggelamkan diri dalam proxy war (perang nirbentuk). Lantas sibuk memutarbalikkan fakta sedemikian rupa.
Wajar bila kemudian bangsa Indonesia dalam tingkat tertentu, nampak begitu sentimental. Emosi kita gampang diaduk hanya dengan secuil berita.
Bahkan seorang mantan presiden yang dalam sejarah republik ini berhasil menunaikan dua periode kepemimpinanan tanpa pemakzulan, masih tak tahan mencurahkan isi hatinya dalam sebuah kicauan linimasa Twitter—wahana baru intelijen yang seharusnya ia tahu dikendalikan negara mana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.