Presiden Jokowi memilih jalan tengah saat menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melaporkan keluh kesahnya terkait penyadapan komunikasi seluler dengan Ma'ruf Amin.
Jalur yang ditempuh SBY itu sepintas nampak biasa saja, namun ditilik dari sudut pandang posisinya sebagai mantan presiden—yang kini telah kembali menjadi rakyat, tebersit sebuah kepanikan di dalamnya.
SBY memang memiliki hak privilese sebagai mantan orang nomor satu negeri ini. Ia ditahbis sebagai warga istimewa oleh negara. Tapi kewenangan itu tak dipergunakan SBY dengan cerdas.
Terlepas dari apa yang ia bahas dan kemudian "tersadap," SBY tak mesti sepanik itu. Tanpa harus terburu nafsu menemui Jokowi di istana, ia masih bisa membincangnya melalui jalur komunikasi pribadi. Sehingga efek yang ditimbulkan tidak malah menjadi blunder bagi dirinya sendiri.
Bapak SBY yang kita hormati seolah lupa, ia hidup di zaman apa. Corak kehidupan kita saat ini berubah drastis sejak ia menjabat presiden pada 2004 silam.
Maraknya pemakaian internet yang kini telah merambah ke telepon seluler, membuat semua orang yang berjejaring di dalamnya, berkesempatan menjadi hakim dari semua persoalan.
Kalangan netizen yang khaotik itu, tak mudah dikendalikan. Mereka punya sistem nalar yang cenderung merisak (bullying). Soal akal sehat, urusan belakangan. Kisah yang dialami Gus Mus, misalnya, jelas tak bisa dianggap sepele.
Apa yang membuat sosok semacam Gus Mus bisa kalah pamor dengan sepotong dua berita dari sebuah situs apkiran?
Kecelakaan mendasar yang luput teramati para pengguna media sosial (medsos) adalah, nilai manusia kalah telak dibanding internet dalam dunia maya. Entah ulama, presiden, atau tokoh bangsa sekali pun, tetap sama nilainya di hadapan mereka: yang masuk kategori "orang pintar baru."
Kita sedang melintasi era yang mengizinkan semua manusia tampil sebagai dirinya—meski tak utuh. Segala rekaman gambar dan suara, semua tempat yang dikunjungi, kegiatan harian, bahkan detik terakhir dalam hidup, terunggah tak sengaja.
Negara mana pun pasti kesulitan mencari batas paling jelas dari fenomena itu. Dunia kita meledak secara informatif. Tanpa sempat menyiapkan diri dengan aturan main yang mungkin bisa disebut sebagai norma berjejaring.
Gelombang risak yang dialami SBY via akun Twitter-nya, jadi bukti nyata. Mereka nyaris lupa sedang berhadapan dengan siapa dan kasus bagaimana. Keinginan kalangan netizen mengawal laju pemerintahan (juga hidup berbangsa kita pada ghalibnya), hampir sulit dibendung.
Kendati cara yang mereka lakukan jauh panggang dari api. Mereka sama sekali tak menyadari siapa aktor utama dibalik simpang siur dunia modern kita sekarang.
Perilaku para pejabat publik kita pun sama sekali jauh dari menunjukkan sikap terhormat. Mereka tak pernah berhenti memancing di air keruh. Rakyat kerap dibuat bingung dan kalang kabut mengikuti akrobat mereka di media massa—khusus dalam jaringan.
Panggung politik berubah jadi tontonan menjemukan. Tak jauh beda dengan sinetron India dalam saluran televisi nasional.