Jika tidak bisa tepat tujuh menit pun, kelebihan satu menit saja, menurut Effendy, masih dalam batas yang wajar.
"Kalau tujuh menit ditambah penyebutan nama-nama tamu yang hadir menjadi delapan menit, ya masih masuk margin error ya," tutur dia sembari tertawa.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sependapat. Pidato tujuh menit memang menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya dan rekan menteri lainnya untuk mengungkapkan isi sambutan secara lugas.
"Tentu saja ini tantangan. Tantangan buat kami supaya benar singkat dan padat. Harusnya kami memberikan gambaran kepada Presiden acara ini tujuannya apa, untuk apa, dan kenapa dilakukan di sini," ujar Puan saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dakhiri juga setuju atas kebijakan itu. Bagi dia, zaman sekarang memang tidak perlu bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu.
"Enggak ada masalah. Kalau sekarang mah pidato memang harus pendek-pendek saja. Pendek, singkat, padat, to the point. Kalau panjang-panjang, memang mau lomba pidato?" ujar Hanif yang juga ditemui di Istana, Rabu.
(Baca: Dilarang Pidato Lama-lama di Depan Jokowi, Apa Tanggapan Para Menteri?)
Asal muasal
Pertanyaan mendasar mengenai kebijakan pidato tujuh menit adalah, sebenarnya apa yang mendasari keluarnya kebijakan ini?
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo menjelaskan, kebijakan ini didasari oleh pengalaman kunjungan kerja Presiden ke sejumlah daerah.
Dalam rangkaian kunjungan itu, pidato menteri atau kepala daerah sering kali memakan waktu yang lama.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, beserta beberapa pejabat Istana lain kemudian merancang bagaimana agar pidato selain Presiden tidak perlu memakan waktu banyak.
"Ada menteri dalam sambutannya kok kayak orasi, padahal Presiden kan kerja, kerja, kerja. Waktunya terbatas. Jadi dirancanglah kalau sambutan, jangan lama-lama. Awalnya ya begitu," ujar Johan.
(Baca juga: Sambutan di Depan Presiden Jokowi Tidak Boleh Lebih dari 7 Menit)
Kebijakan baru itu pun ditetapkan melalui Surat Edaran Nomor B.750/Seskab/Polhukam/12/2016 yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Pramono Anung, 23 Desember 2016.
Surat yang ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, kepala lembaga pemerintah nonkementerian, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri itu mengimbau agar dalam setiap penyampaian sambutan dalam suatu kegiatan yang dihadiri Presiden, siapa pun yang diberikan kesempatan menyampaikan sambutan memperhatikan dua hal.