Ketiga, adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.
Untuk mensistematisasikan dan objektivitas dalam proses pengawasan atas tindakan diskriminasi, Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2008 telah meberikan batasan tindakan diskriminasi berupa:
Satu, memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau:
Kedua, menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis, yang berupa perbuatan:
(1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
(2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
(3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
(4) melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Sedangkan mandatori kelembagaan yang diberikan mandat dalam pengawasan diskriminasi Ras dan Etnis sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM) RI.
Objektivitas penanganan praktik diskriminasi ras dan etnis, sebetulnya adalah menjadi subsistem dari diskriminasi yang terjadi secara umum dalam konsep di Indonesia yang telah dikenal sebelumnya yaitu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
Dalam konteks HAM, diskirminasi sangat luas maknanya dan dilarang dalam bentuk apapun, berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran, atau status lainnya.
Salah satu faktor berkembangnya praktik diskriminasi ras dan etnis, serta merendahkan martabat kemanusiaan (pribadi seseorang), adalah penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab.
Puncaknya, mulai tercermin luas pada peristiwa Pemilu Presiden – Wakil Presiden 2014. Tidak hanya menyerang pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla, akan tetapi juga menimpa pasangan Prabowo Subianto – M Hatta Rajasa.
Berbagai praktik tersebut telah terangkum dalam Laporan Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pilpres 2014 oleh Komnas HAM RI sebagai hasil pantauan pelaksanaan Pilpres di lebih dari 20 (dua puluh) provinsi di Indonesia.
Kasus Obor Rakyat menjadi salah satu contohnya. Situasi inilah yang sebetulnya mulai dipahami oleh berbagai pihak, termasuk Kepolisian RI, Bawaslu RI, dan KPU RI.