PERINGATAN Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2016 diwarnai dengan kondisi negeri yang penuh kegalauan dan tawuran kepentingan elit politik. Tema HGN 2016 "Guru Mulia Karena Karya" bagaikan kata mutiara yang melayang di awang-awang.
Pengelola pendidikan dari tingkat nasional hingga daerah sering "dibongkar pasang" hanya demi konsesi dan akomodasi politik. Dengan mata telanjang, rakyat melihat ihwal penunjukkan menteri pendidikan hingga kepala dinas di kabupaten sangat kental dengan tarik menarik kepentingan politik praktis.
Pengembangan profesi guru sulit tercapai karena kondisinya selalu dalam putaran turbulensi politik yang tiada henti. Postur guru nasional yang jumlahnya sekitar tiga juta orang tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena langkanya wakil guru yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Di parlemen tidak ada wakil guru yang sejati. Akibatnya, implementasi anggaran pendidikan nasional sering bias sasaran dan menjadi bulan-bulanan politisi Senayan.
Bertahun-tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menjadi wadah profesi guru berjuang untuk meletakkan anggaran pendidikan nasional dalam posisi yang tepat. Namun selalu terpental akibat turbulensi politik yang tiada henti.
Setidaknya sudah tiga kali PGRI melakukan gugatan hukum terkait dengan implementasi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20 persen seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945.
Karena selama ini persentase anggaran tersebut dalam penerapan ke bawah sering bias sasaran. Bahkan, anggaraan pendidikan banyak yang dimasukkan dalam pos dana alokasi umum (DAU).
Dampaknya, alokasi anggaran kurang relevan untuk sektor pendidikan. Mestinya anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN bisa mempercepat program peningkatan kompetensi guru.
Sebenarnya para guru memiliki peran strategis untuk menggelorakan optimisme bangsa. Seperti kondisi terkini saat media massa dipenuhi oleh berita muram dan perang dingin elit politik yang berpengaruh terhadap psikologi warga bangsa.
Berita ketegangan politik sangat mendominasi media arus utama dan media sosial. Hal itu telah mempengaruhi spirit kebangsaan dan menggerus energi kreatif bangsa. Padahal kreativitas adalah kunci daya saing bangsa.
Menggelorakan optimisme Indonesia sebaiknya dijadikan agenda para guru. Agenda tersebut diharapkan bisa mencegah distorsi motivasi kebangsaan akibat dominasi pemberitaan yang muram seputar Indonesia. Para guru bisa mengatasi fenomena kegalauan bangsa yang terus menayang di hadapan publik.
HGN menjadi momentum untuk mewujudkan guru ideal yang menjadi sosok inspiratif bagi siswa. Hingga saat ini sosok guru yang inspiratif dan adaptif dengan kemajuan dunia, jumlahnya belum menggembirakan.
Untuk membentuk guru yang ideal dan sumber inspiratif dibutuhkan wahana dan kesempatan bagi guru untuk mengikuti perkembangan global. Wahana tersebut untuk menunjang proses pengajaran serta meningkatan profesionalitas guru.
Sedangkan kesempatan emas yang juga harus diberikan untuk guru berprestasi adalah mengikuti pendidikan lanjutan ke luar negeri. Atau mengikuti bermacam event tentang perkembangan metode pendidikan global dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan.
Eksistensi guru bagi suatu bangsa adalah kunci kemajuan. Bagi negara maju, guru adalah segalanya.